Sekolah Hebat Berprestasi
SEBUAH KISAH KLASIK UNTUK MASA DEPAN
Oleh
Mutia Agustia
Siswi SMA Negeri 1 Terara
"Tin, pokoknya kita besok harus wisuda bareng," Tasya berkata dengan penuh semangat kepadaku.Aku hanya termenung mendengar ocehannya yang seolah tak kenal lelah mendukungku agar bisa mengikuti wisuda sarjana S2 tahun ini.Belum sempat aku menjawab, suaranya yang meriah kembali mengisi udara, "Kamu lagi mikirin apa sih dari tadi kok bengong melulu?"
Dengan enggan aku menjawab, " Ndak apa-apa kok,Tas. Sepertinya aku tidak ikut wisuda tahun ini,yang penting kamu lulus saja dulu." Siang itu,aku memang sedang menemaninya mengetik ulang tugas akhir di kamarnya.
Rupanya,Tasya menangkap adanya kegelisahan dalam hatiku berkaitan dengan prosesi wisuda yang membutuhkan biaya tidak sedikit itu. Aku berhasil menyelesaikan tugas Akhir S2-ku, tapi gelar ini kudapatkan setelah bersusah payah mengambil program beasiswa yang ditawarkan kampusku. Untuk membayarnya secara mandiri,aku pasti tidak akan mampu, mengingat kondisi keuangan keluarga kami. Lamunanku pun melayang sejenak ke masa-masa ketika harus berjuang menyelesaikan kuliah S2-ku dulu.
Aku adalah salah satu mahasiswi jenjang strata dua (S2) yang bisa lulus tepat waktu. Ketika mengambil S2, aku juga telah bekerja disebuah perusahaan swasta yang akhirnya kutinggalkan karena harus berfokus pada kuliahku. Sejujurnya,aku sangat membutuhkan pekerjaan tersebut. Tetapi,aku juga tidak mau pendidikan S2 yabg kujalani dengan susah payah harus berhenti di tengah jalan.
Saat itu,aku mengumpulkan uang untuk kuliah dan bertahan hidup dari berbagai kegiatan paruh waktu(freelance),yang walau bayarannya sedikit dan tak tentu, namun bisa menjadi tumpuan harapanku. Aku sering memberikan les privat kepada teman-teman seangkatan yang kesulitan dalam mengerjakan tugas kuliahnya. Tapi,aku tidak menetapkan bayaran atas jasaku ini lebih seringnya aku membantu tanpa dibayar.
Aku senang sekali bisa membantu teman-teman seangkatan untuk bisa lulus tepat waktu. Salah satu yang sering bertanya soal tugas kuliah kepadaku adalah Tasya. Begitu seringnya kami berinteraksi, sehingga akhirnya kami menjadi sahabat dekat. Jika diingat-ingat lagi, beberapa waktu yang lalu sempat ada pertengkaran di antara kami berdua. Begitu rupa pertengkaran itu hingga aku sempat tidak mau berbicara dengan Tasya selama hampir satu tahun. Aku memang sengaja untuk menghindarinya. Satu perbuatan Tasya yang begitu mengusik prinsip hidupku membuatku tidak begitu saja bisa memaafkannya.
Dalam hal ini,aku juga yang keliru. Keegoisan dan harga diri ini terlalu tinggi sehingga tidak juga melunak,bahkan ketika Tasya sudah berulang kali meminta maaf dan mengajak baikan. Teman-teman kuliah kami juga sudah berupaya membujukku untuk berbaikan dengan Tasya. Tapi...,ah rupanya hatiku yang terlalu keras itu belum juga mau melunak.
Hingga akhirnya, beberapa peristiwa yang mengharuskanku berinteraksi dengan Tasya membuatku sedikit demi sedikit mulai bisa membuka hati. Akhirnya, Tasya berhasil meluluhkan hatiku dan kami pun kembali menjadi sahabat baik. Sungguh,jika saja aku bisa memutar waktu,aku akan segera memaafkan Tasya begitu ia meminta maaf untuk kali yang pertama, sehingga aku tidak menyia-nyiakan anugerah persahabatan ini.
Menjelang akhir masa kuliah kami, kekompakan kami terbukti sangat berguna. Tasya selalu menemaniku saat hendak mencari pekerjaan yang baru. Di saat yang lain,aku membantunya mengerjakan thesis S2-nya. Sekarang,kami berdua sudah dinyatakan lulus dan tinggal menunggu prosesi wisuda sebagai peresmian kelulusan kamu dari jenjang S2. Kami juga bersama-sama mencari pekerjaan,saling mendukung dan memberi informasi setiap kali ada lowongan pekerjaan di suatu kantor atau institusi.
"Hei,kok malah bengong lagi sih?" Tasya menepuk pundakku,membuyarkan lamunanku. "Eh,aku sudah bilang Papa.Kata Papa,kamu harus ikut wisuda tahun ini bersamaku," lanjutnya.
Aku sedikit bingung dengan apa yang dikatakan Tasya barusan. "Maksudnya apa ya,Tas?" tanyaku hendak memastikan.
Tasya menjawab ringan sambil mengetik tugas akhirnya. "Jadi,begini ya,Tin. Papaku berkata bahwa beliau yang akan membayar biaya wisudamu."
Aku langsung terlonjak kaget, "Waduh,Tas,ndak perlu seperti itu juga." Aku berusaha untuk menolak kebaikan Tasya yang kurasa terlalu berlebihan ini. Tetapi,Tasya bersikeras dan meyakinkanku bahwa itu adalah jalan terbaik agar aku bisa ikut wisuda tahun ini.
Tidak kusangka, ternyata selama ini Tasya bisa membaca kegelisahan hatiku yang tidak mampu membayar uang untuk wisuda. Padahal,aku tak pernah mengatakan masalah ini kepadanya. Aku makin merasa tidak enak lagi ketika teringat betapa dia dulu juga pernah membantuku untuk bisa mengikuti salah satu tes di BUMN. Tes itu membutuhkan banyak dana untuk mengurus berbagai dokumen, seperti cek kesehatan, tes urine,surat berbadan sehat,dan berbagai dokumen lainnya.
Aku hanya bisa menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Terima kasih,Tas. Aku janji suatu saat nanti aku akan menggantinya bila telah mendapatkan pekerjaan!" Mendengar jawabanku itu,Tasya hanya tersenyum kepadaku, memahami sikapku yang memang tidak mau mengemis bantuan.
Akhirnya,momen wisuda itu pun tiba. Hanya beberapa teman seangkatan saja yang ikut acara ini, termasuk Tasya. Kami menyambut setiap detik acara wisuda tersebut dengan penuh suka cita. Saat itu pula,aku menghampiri kedua orang tua Tasya untuk mengucapkan terima kasih atas bantuan mereka selama aku menempuh S2.
Sungguh, memiliki teman dan sahabat adalah salah satu pelajaran paling indah dalam kehidupan. Dari mereka,aku belajar banyak tentang kepercayaan,kesetiaan, kekeluargaan,dan kebersamaan. Dari mereka juga,aku mendapat dukungan setiap kali ada masalah yang menghadang.
Komentar (0)