Sekolah Hebat Berprestasi
NAADHIRA NUR RAHMA
Oleh
Baiq Winata Rahmadena
Siswi SMA Negeri 1 Terara
Namanya Naadhira, Naadhira Nur Rahma. Dia teman kuliahku dan kini seangkatan denganku. Kami di jurusan yang sama yakni di jurusan kedokteran. Aku sudah mengenalnya semenjak SMP. Ya, kami sekelas dari SMP dan bahkan SMA. Aku mengenalnya sudah hampir genap 10 tahun. Dari dulu aku selalu mengamatinya dari kejauhan, namun tak pernah berani berbicara dengannya atau bahkan sekedar menyapanya, aku tidak memiliki keberanian untuk itu.
Aku mengaguminya, bahkan sangat mengaguminya. Bagaimana tidak, dia tipikal wanita yang sopan, tidak banyak bicara, selalu menjaga pandangan, serta tidak banyak bergaul. Dia juga selalu berpakaian dengan sederhana yakni dengan mengenakan hijab besar menutup dada serta pakaian longgar seperti gamis. Dia itu beda dari yang lain, di mataku dia bak bidadari surga dalam wujud manusia. Disaat senggang aku sering melihatnya ke perpustakaan umum untuk membaca buku-buku medis, aku sering mengamatinya dari kejauhan 10 meter. Namun kini aku melihatnya menangis, ini bukan kali pertama aku melihatnya seperti itu. Aku ingin mendekatinya serta bertanya "Kenapa kamu menangis?". Namun lagi-lagi aku terlalu pengecut untuk sekedar bertanya, aku tidak berani mendekatinya. Aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan, tak sadar mataku ikut berkaca-kaca melihatnya menangis. Hatiku sesak bagai ditusuk duri. "Kenapa? Kenapa aku merasa seperti ini? Kenapa aku ikut bersedih?" gumamku sambil mengacak rambut dengan frustrasi.
Kali ini aku mencoba memberanikan diri untuk mengahampirinya, ini kali pertama aku berbicara dengannya "Assalamu'alaikum Naadhira, i-ini aku Nathan, ma-ma'af sebelumnya apakah kamu baik-baik saja?” kataku gelagapan mencoba memberanikan diri. Dia menatapku sekilas dan kembali menunduk, "Wa'alaikumussalam, iya saya baik-baik saja" jawabnya sambil mengusap air mata dan bangkit dari kursi "Maaf, saya pamit dulu, saya ada urusan mendadak" sembari pergi dengan terburu-buru serta tak sempat menutup kembali buku yang dibacanya. Buku tebal yang hanya membahas tentang jenis-jenis penyakit. Kini aku melihat halaman yang sempat dibaca Naadhira ialah Penyakit Jantung Koroner. Aku bertanya kepada diriku sendiri "Kenapa kamu menangis saat membacanya?" gumamku.
"Tolooong... Tolooong ada yang pingsan!!" bunyi teriakan seorang wanita dari luar perpustakaan. Aku pun segera berlari dan menghampiri sumber suara, aku melihat ada kerumunan orang tak jauh dari perpustakaan, aku menghampiri dan melihat ternyata itu adalah Naadhira, aku terkejut dan panik. Aku menyuruh orang-orang untuk segera menelpon ambulans. Melihat Naadhira yang sangat pucat membuatku semakin panik, aku mencoba memberikan pertolongan pertama dengan mengecek kondisi pernapasan dan mencoba untuk membangunkannya. Tidak lupa akupun menghubungi kedua orang tua Naadhira dengan menggunakan hp yang ada ditas kecil yang dibawa Naadhira.
Tak berselang lama ambulans tiba berturut dengan kedua orang tua Naadhira. Aku melihat ibu Naadhira sangat panik sambil menangis. Dan dengan segera para petugas ambulans mengangkat dan membawa Naadhira ke rumah sakit terdekat. Aku heran "sebenarnya kamu kenapa?".
Keesokan harinya aku berniat untuk menjenguk Naadhira. Aku bertanya ke staf di rumah sakit namun ternyata aku terlambat. "Maaf mas karena keterbatasan alat medis, pasien pindah ke rumah sakit kota" kata staf rumah sakit tersebut. "Maaf sebelumnya mbak, saya temannya, kalau boleh tau, Naadhira mengidap penyakit apa ya mbak?" tanyaku kembali. "Pasien mengidap penyakit jantung koroner". Aku sangat terkejut mendengarnya, aku tak habis pikir, dugaanku ternyata benar. Aku tak kuasa menahan air mataku.
Aku kini menyadari bahwa aku mencintainya. Rasa kagum ternyata berubah menjadi cinta. Namun aku terlambat menyadari hal tersebut. Sekarang dia telah pindah, aku tidak bisa melihatnya lagi. Aku belum sempat bilang kepadanya, bahwa aku mencintainya. Aku berdoa kepada Allah, semoga Naadhira bisa segera sembuh dan semoga kelak aku bisa dipertemukan lagi dengannya. Hari demi hari kini terasa hampa tanpa melihatnya. Aku mencoba memfokuskan diri untuk belajar agar bisa meraih cita-citaku.
9 tahun berlalu, setelah melewati berbagai macam ujian kedokteran, alhamdulillah atas izin Allah kini aku menjadi dokter ahli bedah terbaik di rumah sakit ternama di kota. Kesibukanku kini mengobati penyakit, cidera, ataupun kondisi darurat melalui metode bedah (operatif).
Namun sampai detik ini aku belum bisa melupakan Naadhira, aku masih berharap bisa dipertemukan lagi dengan Naadhira. Tak lupa di sepertiga malam aku selalu berdoa agar dipertemukan lagi dengannya. Aku merindukannya, bahkan sangat merindukannya.
Saat sedang istirahat, aku mendengar suster Siska memanggilku, "Dok ada keadaan darurat, ada pasien yang harus segera melakukan operasi. Bisakah Anda menanganinya? Yang bertugas melakukan operasi seharusnya adalah dokter Andre tapi beliau belum datang, beliau masih dalam perjalanan namun terjebak dalam kemacetan”. Mendengarnya, aku langsung bergegas dan menghampiri pasien tersebut.
Aku terkejut bukan main saat melihat pasien yang tidak lain tidak bukan ialah Naadhira. Atas izin Allah aku dipertemukan lagi dengannya. Sungguh Allah maha besar, doa yang selama ini aku panjatkan kini terkabul.
Dengan segera aku memeriksanya dan melakukan operasi bypass jantung untuk mengatasi penyumbatan pembuluh darah arteri koroner pada penyakit jantung koroner yang diderita Naadhira. Operasi berlangsung selama 5 jam. Seperti yang diketahui, penyakit jantung koroner adalah penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Walaupun begitu aku berusaha semampuku untuk menolong Naadhira. Kini operasi berjalan lancar. Namun perlu waktu bagi Naadhira untuk kembali sadar.
Keesokan harinya aku kembali ke ruang tempat Naadhira dirawat untuk memeriksa keadaanya, dan kini aku melihatnya tengah terbaring sambil menatap langit-langit rumah sakit dengan ditemani oleh ibunya.
7 hari berlalu. Kini Naadhira terlihat sudah lebih membaik, aku kini menyapa dan memastikan keadaannya, "Assalamu'alaikum Naadhira, bagaimana keadaanmu? Apakah kamu sudah merasa lebih baik?". "Wa'alaikumussalam dok, alhamdulillah berkat dokter saya merasa lebih baik dari sebelumnya" jawab Naadhira sembari membalas senyumku. Melihatnya tersenyum padaku membuatku merasa menjadi orang yang mungkin paling bahagia saat ini. Bagaimana tidak, orang yang kucintai sedari dulu kini berada di depanku dan bahkan tersenyum kepadaku. "Apakah kamu tidak mengenaliku? Ini aku Nathan, Nathan Arya Wijaya, teman sekelasmu dari SMP dan bahkan sempat seangkatan denganmu diwaktu kuliah dulu" kataku sambil memeriksanya. "Bagaimana mungkin saya tidak mengenali Anda dok, saya ingat hanya saja saya tidak menyangka bahwa ini benar-benar Anda, saya senang melihat Anda yang kini berhasil meraih cita-cita dan impian Anda" balasnya. "Iya Alhamdulillah ini semua atas izin Allah. Maaf sebelumnya sudah berapa lama kamu mengidap penyakit jantung?" Tanyaku kembali. "Sudah dari dulu, semenjak saya berusia 18 tahun. Saya juga tidak melanjutkan kuliah karena sempat membaca seputar penyakit jantung koroner, yakni tidak memiliki peluang untuk sembuh" katanya sambil menunduk dengan mata yang berkaca-kaca. "Jangan berkata seperti itu, bisa saja Allah berkehendak lain, bisa saja Allah memberi keajaiban dan membuatmu sembuh, kamu harus yakin bahwa tidak ada yang tidak mungkin jika Allah menghendaki" kataku yang berusaha menyemangatinya. Kini dia tersenyum dan berkata "iya, in syaa Allah. Terimakasih dok". "Panggil saja Nathan" balasku saat hendak pamit sesudah memeriksanya.
Hari demi hari berlalu, kini Naadhira sudah bisa pulang, namun tetap harus konsultasi dengan dokter setidaknya sebulan sekali.
Pagi ini terasa begitu cerah tak seperti hari-hari biasa yang sering turun hujan. Di hari yang indah ini aku berniat untuk menyampaikan perasaanku kepada Naadhira. Perasaan yang kupendam selama ini. Aku memberanikan diri untuk menelponnya "Assalamu'alaikum,, hallo Naadhira, apakah hari ini kamu sibuk?". "Waalaikumussalam, tidak Nathan, ada apa?" Balasnya. "Apakah pagi ini kita bisa bertemu? Ada hal yang ingin ku sampaikan padamu secara langsung" Tanyaku kembali. "In syaa Allah bisa, apakah ada masalah?" Tanya Naadhira yang terdengar khawatir. "Tidak. Tidak ada masalah. Baiklah jam 10 nanti Aku akan menunggumu di restoran Indah, yang jaraknya tidak jauh dari rumah sakit" Kataku dengan hati yang berdebar tak karuan. "Baiklah, saya akan segera datang"."Hati-hati di jalan Naadhira. Wassalamu'alaikum" Kataku saat hendak menutup telfon. "In syaa Allah, wa’alaikumussalam.”
Dengan segera aku bersiap-siap dan berangkat lebih cepat. Tak lupa untuk mampir di toko perhiasan untuk membeli cincin.
Setibanya di restoran. Tak berselang lama Naadhira datang dengan pakaian sederhananya. Baru melihatnya saja sudah membuat hatiku berdegup kencang. "MasyaAllah bidadari syurga" kataku bergumam. "Maaf? Apakah kamu mengatakan sesuatu tanya Naadhira yang berdiri di depanku". "Eh.. anu.. tidak, bukan apa-apa" ucapku gelagapan. "Jadi.. apa yang ingin kamu sampaikan?" tanya Naadhira penasaran. "Duduklah terlebih dahulu sembari memesan makanan, kebetulan aku juga belum sarapan" kataku mempersilahkannya duduk dan mencoba menenangkan diriku.
10 menit berlalu setelah selesai makanan aku memberanikan diri untuk membuka suara dan mengungkapkan isi hatiku sambil mengeluarkan cincin permata yang baru saja aku beli. "Naadhira.. sebenarnya aku sudah sangat lama mengagumimu, dan rasa kagum itu telah berubah menjadi cinta. Iya, aku mencintaimu. Maukah kamu menjadi pendampingku? Maukah kamu menikah denganku?" Kataku sambil menunduk dan berlutut di lantai. Aku tidak berani menatap mata Naadhira. Tapi aku merasa sedikit lega karena perasaan yang selama ini aku pendam kini telah ku sampaikan. "Maaf.. maafkan saya, saya tidak bisa" kata Naadhira dengan suara yang terdengar seperti menahan tangis.
Kini aku menatapnya, air mata Naadhira kian menetes. "Bolehkah aku tau kenapa? Apakah kamu tidak menyukaiku?" Kataku dengan kembali menunduk menahan air mataku, aku mendadak lemah melihatnya menangis. "Tidak, bukan begitu, tapi saya tidak pantas untuk itu, bagaimana mungkin kamu mencintai saya, kamu tau sendiri bahwa saya mengidap penyakit, dan bahkan umur saya mungkin tidak lama lagi, saya tidak ingin menjadi beban buatmu" ucap Naadhira sambil mengusap air mata dan mencoba untuk tidak menangis.
"Tidak Naadhira, aku mencintaimu, aku tulus mencintaimu karena Allah. Kamu begitu sempurna dimataku, dan umur tidak ada yang tau. Bisa saja aku yang terlebih dahulu menemui Tuhan. Perlu kau ingat, bahwa semua yang bernyawa pasti akan mati, kini izinkan aku menemanimu dikala suka maupun duka. Izinkan aku menjadi pendamping hidupmu dan melewati semua ini bersama" kataku meyakinkan Naadhira.
Aku tidak mendengar jawaban apapun dari Naadhira. Lalu aku sekali lagi berkata, "Maukah kamu menikah denganku?" sambil menyodorkan sebuah cincin yang sedari tadi kupegang.
"In syaa Allah, iya Nathan aku mau" jawab Naadhira. Mendengar jawaban Naadhira sontak kini aku tidak bisa menahan senyumku. Tanpa sadar air mata ku menetes, bukan sedih melainkan ini adalah air mata bahagia. Aku merasa menjadi orang yang paling beruntung hari ini. Segala puji ku panjatkan kepada Allah, sang pemilik hati.
"Be-besok.. aku akan melamarmu besok. Bolehkah aku memakaikan cincin ini ke jari manismu?" Kataku gelagapan. Kini Naadhira mengangguk sambil tersenyum tipis.
Keesokan harinya aku datang kerumah Naadhira untuk melamar serta meminta restu kedua orang tuanya. Sama seperti Naadhira awalnya kedua orang tua Naadhira ragu dengan keputusanku. Namun dengan bantuan dan bujukan dari mama papa kini kedua orang tua Naadhira setuju.
Oleh pak ustadz kami disarankan untuk melangsungkan pernikahan pada tanggal 1 syawal yakni tinggal 2 minggu lagi. Cukup cepat memang tapi ustadz bilang itu tanggal yang pas untuk melangsungkan pernikahan.
Kini mulai sekarang kami harus mempersiapkan pernikahan kami. Besok sepulang bekerja aku dan Naadhira berencana untuk memilih pakaian serta gaun pernikahan.
"Hallo assalamu'alaikum.. selamat pagi cantik, kamu sedang apa? kamu ingatkan nanti sore kita akan kemana" kataku menggoda Naadhira. "Wa'alaikumussalam Nathan.. saya sedang membuat sarapan untukmu, bolehkah saya membawakanmu sarapan pagi ini? Sekalian saya juga ada jadwal konsultasi sekarang" jawab Naadhira. "MasyaAllah calon istri idaman, tentu saja, tapi diluar sangat mendung sepertinya akan turun hujan. Biarkan aku saja yang menjemputmu" kataku sedikit khawatir. "Tidak usah, saya bisa naik Taxi, lagian jaraknya juga tidak terlalu jauh. In syaa Allah saya datang 1 jam lagi" tolak Naadhira. "Baiklah kalau begitu hati-hati dijalan ya, aku tutup telponnya, wassalamu'alaikum" kataku saat akan menutup telfon karena ada pasien yang hendak ku operasi. "Iya, wa’alaikumussalam".
Operasi kini berlangsung selama 3 jam. Dan alhamdulillah operasi berjalan lancar. Kini aku sedang beristirahat sejenak sambil menunggu kedatangan Naadhira yang tak kunjung datang.
Aku mulai khawatir. Aku mencoba menelpon Naadhira tapi tidak diangkat. Aku mencoba berkali-kali namun hasilnya tetap sama.
Aku beranjak dari tempat duduk dan berjalan keluar. Diluar terlihat hujan yang sangat lebat dibarengi dengan petir yang menggelegar. Hatiku kini tak karuan. Perasaan apakah ini ya Allah. Aku mencoba menghubungi kedua orang tua Naadhira, namun beliau bilang kalau naadhira sudah berangkat sekitar 2 jam yang lalu. Seharusnya kini dia sudah sampai karena jarak rumah sakit dan rumahnya hanya berkisar 30 menit saja.
Berulang kali aku mencoba menghubungi Naadhira namun tetap saja tidak diangkat. Aku mencoba meyakinkan diriku "Naadhira baik-baik saja, dia pasti tidak mendengar suara telpon karena hujan, atau mungkin juga terjebak macet" kataku sambil berjalan mondar mandir di depan pintu masuk rumah sakit.
Aku melihat para petugas ambulans berlari terburu-buru. Aku bertanya ke salah satu dari mereka "Apakah ada yang kecelakaan?" tanyaku dengan sangat khawatir. "Iya dok ada kecelakaan di jalan Mawar Raya." ucap salah satu petugas sambil berlari dengan terburu-buru.
Itu adalah jalan menuju rumah Naadhira. Tidak, tidak mungkin, tolong katakan padaku bahwa itu bukan Naadhira.
Aku pun dengan segera ikut masuk ke mobil ambulans, "Ayo pak, saya ikut" kataku panik tak karuan.
Sesampainya di TKP. Aku melihat sebuah truk besar yang sedikit penyok di bagian depan. Serta sebuah mobil taxi yang terbalik. Kepingan-kepingan kaca berserakan di tempat tersebut. Kepingan-kepingan taxi yang sangat hancur di bagian depan. Terlihat tiga orang terkapar, dua orang diantaranya terluka parah dengan darah yang terus mengalir dari kepala. Air hujan yang membasahi lukanya. satu orang dengan luka ringan.
Aku berlari menuju salah satu korban kecelakaan tersebut. Seketika aku lemas tak berdaya saat melihat tangan dari korban perempuan tersebut. Sebuah cincin yang ku pakaikan di jari manis Naadhira. "Naadhiraaa...!!" teriakku dan segera memberi pertolongan. Namun terlambat, kini Naadhira tidak bisa kuselamatkan, dia sudah tak bernyawa. Dia tidak bernafas, dan aku tidak merasakan denyut nadi ditangannya.
Para petugas kini mengangkat para korban termasuk Naadhira. Aku memeriksa para korban lainnya, satu orang diantaranya masih bernafas dan hanya terluka ringan, sepertinya dia adalah sopir truk tersebut.
Aku menghubungi keluarga Naadhira dan memberitahu mereka bahwa Naadhira mengalami kecelakaan.
Kini aku melihat Naadhira terbaring di depan ku dengan tubuh yang sudah tak bernyawa. Aku melihatnya tersenyum tipis. "Subhanallah, tolong jaga dia di sisimu ya rabb" kataku yang sedari tadi tak bisa menahan air mata.
Aku termenung dengan tatapan kosong sembari menatap jenazah calon istriku. Kini hujan air menetes di mataku. Aku bertanya-tanya, "Kenapa?? Kenapa Allah mengambil Naadhira begitu cepat??". Langit seakan ikut menangis. "Ma’afkan aku Naadhira, maafkan aku, aku terlambat, maaf seharusnya aku yang menjemputmu, maafkan aku, maaf" kataku sambil memukul kepalaku. Sungguh sesak. Aku merasa sangat sesak. Kini kehilangan Naadhira menyisakan luka yang sangat dalam dihatiku.
Semua yang bernyawa pasti akan mati. Sungguh kematian ada di depan mata. Bisa sekarang, besok, atau nanti. Aku tidak pernah menduga akan kehilangan Naadhira seperti ini. Selamat tinggal Naadhira. Aku mencintaimu. Semoga kelak Tuhan mempertukan kita di surga. Aamiin.
Komentar (0)