Detail Opini Siswa

Opini / Siswa / Detail Opini Siswa

Kebebasan berpendapat di negara Indonesia

Admin Selasa, 25 Januari 2022 13:31 WIB 0 Komentar

Kebebasan berpendapat di negara Indonesia

Oleh

Salwa Sabrina

 Siswi SMA Negeri 1 Terara

 

     Tema: Masih adakah kebebasan berpendapat di negeri ini.

         Kebebasan berpendapat merupakan hak setiap manusia yang merupakan anugrah yang harus dipertahankan. Setiap orang berhak untuk mendapatkan kebebasan berserikat, berkumpul dan menyampaikan pendapat sesuai Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yang diatur selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Menurut bebraapa referensi yang ada menjelaskan bahwa dimasa pemerintahan orde baru. Kebebasan berpendapat sangat dibatasi ( dikekang )bahkan dibungkam (pers maupun LSM yang kritis), kecuali mereka yang berpihak kepada penguasa. Tidak sedikit para aktivis, mahasiswa maupun budayawan yang kritis terhadap kebijakan penguasa berakhir di balik jeruji besi.

        Akumulasi dari tindakan represif penguasa dengan menggunakan alat alat kekuasaan baik tentara. polisi ataupun lembaga hokum lainnya, akhirnya membangkitkan semangat perjuangan para mahasiswa dan pemuda yang didukung oleh beberapa tokoh-tokoh nasional yang kritis baik tokoh politik, akademisi maupun tokoh pers serta budayawan ( Gus Dur, Amin Rais, Ainun Najib, Nurcholis Majid dll) –(Kompas.Com), untuk bangkit melakukan gerakan masa melalui demontrasi demontrasi yang puncaknya pada 21 Mei 1998, setelah gerakan mahasiswa berhasil menduduki gedung DPRRI/MPRRI yang menuntut mundurnya presiden Soeharto. Gerakan mahasiswa tersebut akhirnya Presiden Soeharto menyatakan pengunduran diri sebagai presiden dan dilantiknya Prof.Dr.Ir BJ Habibi sebagai presiden . Dilantiknya BJ.Habibie sebagai presiden, merupakan awal dari era reformasi yang demokratis. Dengan kebijakan presiden BJ. Habibie maka kebebasan pers dibuka seluas luasnya, demikian pula dengan kebebasan menyampaikan pendapat dimuka umum, denga ditetapkannya UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

         Lebih dua decade pasca reformasi, ternyata perjalanan demokrasi kita penuh dengan berbagai dinamika. Demokrasi terkesan hanya sebagai sebuah semboyan, demokrasi yang merupakan saerana mencapai tujuan bernegara yaitu kesejahtraan rakyat, sebagai perwujudan dari sila kelima dari Pancasila yakni Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia hanya indah dalam pidato para penguasa baik di pusat maupun di daerah, namun, hanya dinikmati oleh segelintir penguasa dan para cukong. Domokrasi yang merupakan sarana masyarakat dalam menentukan masa depan bangsa melalui pemilihan umum hanyalah merupakan formalitas semata. Melalui pemilihan umum para pemilik modal yang berkolaborasi dengan oligarkhi kekuasaan mengeksploitasi suara rakyat melalui iming-iming politik uang serta berbagai fasilitas materi laiinnya. Para pemilik modal akan mendukung orang-orang pilihan mereka untuk menjadi anggota legislative maupun ekskutif dengan berbagai kesepakat, mereka bersimbiosa mutualistis, baik melalui pemilihan umum untuk memilih anggota DPRRI, DPDRI, MPRRI, dan DPRD serta pemilihan presiden dan wakil presiden, gubernur dan wakil gubernur serta pemilihan bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota, bahkan kepala desa pun tak luput dari politik uang maupun janji-janji manis yang membius massyarakat. Partai partai politi terkesan hanya kendaraan yang dikendalikan para oligarkhi kekuasaan maupun para cukong untuk meraup rente dari proses demokrasi. Dampak dari proses demokrasi pemburu rente ,menghasilkan kebijakan kebijakan yang tidak pro rakyat (UU Omni bus law, UU Minerba, UU lingkungan Hidup, dll), dengan alasan mengejar pertumbuhan, SDA dikorbankan.

         Kebijakan penguasa baik tingkat pusat maupun daerah yang tidak pro rakyat, banyak diprotes dari masyarakat baik melalui media media social maupun penyampaian pendapat dimuka umum melalui demonstrasi demonstrasi oleh LSM, Ormas maupun mahasiswa. Protes protes masyarakat tidak direspon seutuhnya oleh pemerintah, bahkan ada indikasi penguasa melakukan counter dengan meyewa pendemo tandingan, maupun melalui buzzer dan influencer yang dibiayai melalui APBN.

         Memperhatikan kondisi kondisi diatas maka kebebasan berpendapat dinegeri ini terkesan “kebebasaan semu’. Disatu sisi pemerintah membuka pintu untuk menyampaikan pendapat maupun kritik, disisi yang lainnya terrlihat tindakan tindakan yang represif terhapap para pengunjuk rasa oleh aparat dilapangan (kasus smackdwon di Tangerang, Mahasiswa di Solo, pembuat mural, beberapa orang youtuber,dll) dengan dalih penegakan hukum melalui berbagai instrument hukum, dalam rangka penegakan PERDA, KUHP maupun UU ITE.Kesan ini sangat terasa dimasyarakat, karena aadanya kesan diskriminasi dalam penanganan kasus antara kelompok pendukung kekuasaan ( para buzzerRp maupun influecer) dan kelompok masyarakat yang beroposisi. Akhirnya kita dapat berkesimpulan bahwa “Kebebasan Berpendapat di Negeri ini” antara ada dan tiada alias “Kebebasan Semu:


Bagikan ke:

Apa Reaksi Anda?

0


Komentar (0)

Tambah Komentar

Agenda Terbaru
Prestasi Terbaru