Detail Opini Siswa

Opini / Siswa / Detail Opini Siswa

BERUANG GUNUNG RUTE KIRI

Admin Sabtu, 26 Februari 2022 19:29 WIB 0 Komentar

BERUANG GUNUNG RUTE KIRI

Oleh

Lalu Cholidimas Raniawan

Siswa SMA Negeri 1 Terara

Malam ini begitu sepi. Sejak aku melangkahkan kaki melewati jalan ini dua hari yang lalu, tak ada satu pun bangunan yang kulewati. Permukiman, gubuk tukang kayu, penanda jalan, manusia, binatang, bahkan hantu tak ada yang kutemui. Seolah-olah yang menggunakan jalan ini hanya aku seorang. Bahkan sekarang, sejauh mataku memandang ke depan, hanya ada jalan setapak kecil¡ªcukup untuk dilalui oleh dua orang atau satu kereta kuda¡ªyang dikelilingi oleh pepohonan hutan.

Malam ini juga sunyi. Tak ada lolongan serigala, tak ada nyanyian burung hantu, bahkan para jangkrik pun seakan membisu. Yang bisa kudengar hanyalah suara langkah kakiku di atas jalan setapak yang panjang ini. Bunyi sepatu kulit usang yang menyentuh tanah secara pelan menjadi satu-satunya rekan yang menemaniku. Meskipun terkadang pohon-pohon di hutan juga turut menyapa dan melambai seiring perjalanan.

Aku memang sengaja menyusuri jalan ini untuk menghindari keramaian di jalan utama, tapi ini terlalu sunyi. Aku mulai menduga bahwa alasan tidak adanya orang yang melewati jalan ini adalah karena jalan ini terkutuk. Mungkin jalan ini adalah sebuah jalan tanpa akhir dan aku terpaksa harus menyusurinya hingga akhir hayatku, atau bahkan setelahnya. Tapi bagaimanapun itu¡ªterkutuk atau tidak¡ªaku harus tetap berjalan, karena berdiam diri tidak akan membawaku ke mana mana.

Malam ini memang sunyi dan sepi seperti biasanya, tapi ada satu perbedaan yang kurasakan, yaitu jalannya terasa menanjak dan semakin menanjak. Ini jelas adalah suatu hal yang aneh, karena sejak dua hari lalu trek yang kulalui selalu datar. Meskipun aku sudah pasrah jika memang dikutuk, tapi aku masih berharap bahwa yang berbeda dari malam hari ini bukan hanya trek jalannya saja. Setidaknya aku berharap bisa melihat hewan malam seperti burung hantu, rusa hantu, kelinci hantu, bahkan hantu pun tak apa. Yang penting aku bisa mengalami hal yang baru agar tidak bosan di perjalananku ini.

Tetapi sepertinya harapanku tidak terwujud. Setelah beberapa lama aku berjalan melewati tanjakan yang sepertinya tiada akhir, jalannya kembali melandai. Suasananya pun tetap sunyi dan sepi seperti biasa. Aku sedikit kecewa, tapi setidaknya tanjakan tadi telah memberiku sedikit hiburan dan tantangan, selain dari rasa pegal di lutut.

Aku memutuskan untuk beristirahat sebentar di pinggir jalan dan minum. Kucari pohon yang rindang untuk duduk bersandar dan kutaruh tas ranselku di samping. Kuraih kantung air di pinggangku dan membukanya. Saat kulihat ternyata air di dalamnya hampir kosong, hanya bias dipakai minum untuk satu teguk saja. Dengan berat hati, aku pun meminum sisa air di kantung itu. Rasanya menyegarkan, semua lelah dan letih yang kurasakan saat berjalan di tanjakan tadi seperti tersapu bersih oleh air yang mengalir di kerongkonganku. Kemudian aku menyadari bahwa sekarang semua airku habis, dan jika aku tidak bisa segera keluar dari labirin lurus ini, maka bisa dipastikan aku akan mati karena haus. Aku merasa semakin stres dan putus asa.

"Aaaaaaaahhhh!!!" Aku berteriak.

Selain untuk mengurangi stres, aku juga berteriak dengan harapan ada yang akan merespon teriakanku tadi. Tetapi sepertinya percuma saja. Aku sendirian di tempat ini, dan sepertinya akan tetap begitu.

Setelah beristirahat hingga tengah malam, aku pun melanjutkan perjalanan karena meskipun aku akan mati di sini, setidaknya aku tidak mau mati dalam keadaan meringkup di pinggir jalan seperti orang yang menyedihkan. Aku akan terus berjalan dan berjalan hingga aku tak sanggup lagi. Tapi belum seberapa lama aku berjalan, aku mendengar sesuatu.

"Hei!" Terdengar seperti ada yang memanggilku dari belakang. Tetapi aku mengabaikannya danlanjut berjalan karena itu mungkin hanya imajinasi dari diriku yang sudah terlalu lama berjalan sendiri.

"Hei, kau, yang bawa ransel coklat!" Suaranya semakin jelas dan aku pun berhenti.

Apakah aku sudah gila? Atau memang ada yang memanggilku? Kalaupun ada, siapa? Atau apa? Aku sudah berjalan selama lebih dari dua hari tanpa bertemu siapa-siapa, dan sekarang tiba-tiba ada yang memanggilku? Apakah aku harus menoleh? Atau haruskah aku lari? pikirku.

Perasaanku campur aduk. Di satu sisi aku senang karena sepertinya aku tidak sendiri di tempat ini, tapi di sisi lain aku juga merasa takut karena alasan yang sama. Hal ini membuatku sulit mengambil keputusan. Tetapi setelah perdebatan batin yang singkat, aku memutuskan untuk berbalik badan karena lari adalah sebuah tindakan yang pengecut.

Setelah berbalik, aku mendatangi sosok itu dan menatapnya dari bawah ke atas. Ia memakai jubah seperti seorang biarawan, tapi berwarna hitam. Aku tidak bisa melihat kakinya karena tertutup oleh jubahnya yang panjang. Di jari telunjuk tangan kirinya terdapat sebuah cincin yang sepertinya terbuat dari perak. Kemudian tatapanku sampai pada kepalanya. Kalau kuperhatikan, wajah orang  ini hampir terlihat seperti kebalikan dari diriku. Kepalanya botak, sementara rambutku sepanjang leher, hitam, dan lurus meski sekarang kelihatan agak berantakan karena aku belum mandi selama dua hari ini. Wajahnya ditutupi jenggot, sementara wajahku halus tanpa rambut. Wajahnya keriput, sementara wajahku masih kelihatan muda. Matanya kelihatan tajam dan mengintimidasi, sementara mataku kelihatan sayu. Selain itu, ada juga kemiripan fisik diantara kami, seperti tubuh yang tinggi dan kulit putih. Meskipun badannya kelihatan lebih gemuk daripada aku yang kurus kering ini.

"Hei, anak muda. Hendak pergi ke mana dirimu ini?" Tanya dia.

"Aku... aku ingin pergi ke perbatasan... di utara" Jawabku dengan nada sedikit takut.

"Jikalau engkau berniat pergi menuju utara, mengapa engkau tidak melewati jalan utama saja?

Mengapa mengambil jalan ini?"

"Aku... kupikir akan lebih dekat jika lewat jalan ini."

"Memanglah benar yang engkau katakan itu. Tetapi jalan ini juga sepi, lagi berbahaya."

"Berbahaya? Jalan ini memang sepi, tapi sejak aku pertama kali melewatinya dua hari yang lalu, aku tidak pernah punya pengalaman berbahaya. Lantas, apa maksudmu berbahaya?"

"Mungkin hingga sekarang engkau belum menemui bahaya apapun. Tetapi jalan yang akan engkau tempuh di depan itu akan penuh dengan bahaya."

"Kenapa bisa begitu? Apa bedanya jalan yang di depan itu dengan jalan yang telah aku tempuh selama ini?"

"Engkau tentu telah berjalan melewati tanjakan yang ada di belakang itu, kan?"

"Iya, betul."

"Setelah engkau melewati tanjakan itu, maka engkau telah berada di kawasan pegunungan.Termasuk tanah yang sedang engkau dan aku pijak ini, ini juga termasuk wilayah pegunungan."

"Memangnya kenapa kalau ini adalah wilayah pengunungan?"

"Pegunungan ini dihuni oleh makhluk yang buas lagi menyeramkan."

"Makhluk apa itu?"

"Nama asli mereka telah hilang ditelan waktu, tapi orang-orang yang masih hidup setelah berjumpa dengan mereka memberi nama makhluk ini dengan sebutan 'beruang gunung'."

"Beruang gunung?"

"Ya, beruang gunung. Mereka hidup di dalam gunung bagaikan cacing yang hidup di dalam tanah. Mereka besar, kuat, cepat, dan tidak takut apapun. Mereka akan memakan makhluk apapun yang dapat mereka temukan."

"Kalau mereka memang hidup seperti cacing, kenapa tidak disebut cacing gunung saja?"

"Dikarenakan mereka tidak terlihat layaknya cacing."

"Apa mereka terlihat seperti beruang?"

"Tidak."

"Kalau begitu kenapa disebut beruang gunung?"

"Dengarkan aku, wahai anak muda. Sesungguhnya aku tiada mempunyai jawaban dari pertanyaan itu. Tetapi aku akan membagi sejumlah pengetahuan yang aku miliki kepada engkau agar engkau dapat menghindari bahaya yang dapat ditimbulkan dari bertemu dengan beruang gunung."

"Baiklah. Jadi, bagaimana caranya?"

"Pertama, jangan berjalan di tepi perbukitan. Karena beruang gunung biasa berkeliaran di daerah sekitar situ. Kedua, jangan sekali-kali mendekati atau bahkan memasuki goa karena goa adalah pintu masuk menuju sarang beruang gunung."

"Jadi, selama aku tidak melakukan hal-hal tersebut maka aku akan aman dari serangan beruang

gunung?"

"Tidak juga. Saran yang baru saja aku berikan itu hanya akan memperkecil kemungkinan engkau untuk berjumpa dengan beruang gunung. Engkau masih dapat berjumpa dengan beruang gunung di tengah perjalanan jika memang takdir berkata begitu. Terlebih lagi jika engkau melakukan perjalanan di malam hari karena beruang gunung biasa berburu setelah matahari terbenam."

"Terima kasih atas saranmu, tuan, tapi aku tidak bisa menunggu hingga fajar untuk melanjutkan perjalananku ini. Semakin cepat aku keluar dari tempat ini, semakin baik."

"Jikalau begitu jadinya, maka aku hanya bisa berdoa agar engkau selamat sampai tujuan."

"Satu lagi, tuan. Kira-kira berapa lama lagi hingga aku bisa keluar dari jalan ini?"

"Seharusnya tidak terlalu jauh. Jikalau engkau terus berjalan tanpa berhenti, aku yakin engkau bisa sampai ke jalan utama sebelum fajar menyingsing."

"Kalau begitu, aku akan melanjutkan perjalananku, tuan."

"Silahkan."

            Aku langsung bergegas melanjutkan perjalananku. Kemudian aku baru ingat bahwa aku belum menanyakan nama orang tua yang baik itu. Tetapi, ketika aku melihat ke belakang, dia sudah tidak ada di sana. Hilang tanpa suara, padahal aku baru berbalik sebentar. Yah, tempat ini memang tidak beres, jadi aku tidak ambil pusing. Lagipula, orang tua itu tidak melakukan hal jahat apapun padaku, bahkan ia memberiku saran dan petunjuk maka tentu dia bukan makhluk jahat.

            Aku pun kembali berjalan, melewati jalan menyebalkan ini, yang telah menahanku selama lebih dari dua hari dan bahkan hampir membuatku gila. Setelah kira-kira tiga jam perjalanan, sesuatu menghentikan langkahku. Beruang gunung? Bukan. Jurang yang dalam? Juga bukan. Ini sesuatu yang jauh lebih buruk¡ªpersimpangan jalan. Jalan di depanku dipisahkan menjadi dua¡ªkiri dan kanan. Diantara kedua jalan itu terdapat sebuah penanda jalan yang terbuat dari kayu. Ini adalah penanda jalan pertama yang aku lihat selama perjalananku yang laknat ini. Tetapi penanda jalan tersebut tidak banyak membantu. Penanda jalan sebelah kiri tulisannya sudah usang dan tidak terbaca, sepertinya karena faktor usia. Sementara penanda jalan sebelah kanan sudah penuh dengan lumut. Jalan mana yang harus kulalui? Untuk beberapa saat setelah aku menapaki jalan sebelah kiri, tidak ada hal-hal buruk yang terjadi. Semua baik-baik saja¡ªtidak ada beruang gunung atau makhluk berbahaya lain di sekitar. Sepertinya aku mengambil keputusan yang benar untuk melewati jalan ini.Setelah berpikir sejenak, aku memutuskan untuk mengambil jalan kiri, karena aku merasa bahwa penanda jalan yang ditumbuhi lumut bukan pertanda baik. Kemudian, tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba aku mendengar sebuah suara yang sangat keras sampai harus menutupi telingaku. Bagaikan tembakan meriam yang melolong. Bagaikan guntur yang meraung. Bagaikan teriakan ibuku saat aku kencing di kasur saat kecil dulu. Jika saja tadi telingaku tidak ditutupi, mungkin aku sudah tuli sekarang. Tidak berapa lama setelah suara keras tadi, aku mendengar suara langkah kaki yang bergerak sangat cepat. Arahnya berasal dari sebelah kiri jalan. Suaranya semakin jelas, dan tanah di sekitarku mulai bergetar. Aku tidak tahu makhluk apa itu, tapi yang jelas dia cepat, berat, dan sedang menuju ke arahku. Instingku menendang dan aku pun berlari ke arah kanan jalan. Aku berlari sangat cepat sampai aku tidak sadar bahwa ranselku terjatuh. Aku takut setengah mati, tapi aku juga penasaran setengah hidup. Sambil berlari aku selalu melihat ke belakang, berharap dapat melihat wujud makhluk yang sedang berlari ke arahku ini. Tak lama kemudian aku terjatuh karena tersandung dengan sebuah batang pohon yang menghalangi jalan. Batang pohon itu cukup besar, tetapi aku tidak melihatnya karena selalu berlari menghadap belakang. Suara langkah makhluk itu semakin dekat, sementara aku masih duduk di tanah kesakitan. Saat itu aku sudah hampir pasrah. Setelah melewati jalan terkutuk ini selama hampir tiga hari, sepertinya aku akan mati di saat aku sudah hampir sampai tujuan. Kemudian aku memperhatikan batang pohon yang aku tabrak tadi, ternyata bagian dalam batang itu kosong. Aku segera bangun dan berusaha masuk ke dalam batang pohon itu. Untung saja badanku yang kurus ini bisa muat di dalamnya. Suasana di dalam batang pohon ini tidak terlalu buruk. Memang agak lembab dan basah, tapi di sini tidak ada serangga maupun jamur, jadi bisa dibilang cukup nyaman. Sementara itu, suara langkah makhluk yang mengejarku tadi semakin dekat hingga akhirnya berhenti. Dia di sini. Tepat di belakang batang pohon tempatku bersembunyi. Aku bias mendengar nafasnya, tapi untung saja aromanya tidak sampai tercium. Makhluk apapun ini, aku yakin bau mulutnya tidak enak. Setelah berhenti sejenak, makhluk itu melangkahkan kakinya melewati atas tubuhku yang ada di dalam batang pohon. Aku bisa melihat kaki makhluk itu dengan cukup jelas lewat sebuah lubang kecil di batang pohon yang kebetulan berada dekat salah satu mataku. Kakinya besar berotot, dengan tiga jari kaki yang tidak kalah besar dan tajam. Saat itu aku benar-benar ketakutan. Jantungku rasanya ingin berontak keluar dari dadaku dan lari meninggalkan batang pohon ini. Keringatku bercucuran sangat banyak meskipun aku sudah lama tidak minum. Tetapi aku tetap berusaha tenang dan mengatur nafasku sepelan dan sesunyi mungkin agar tidak terdengar oleh makhluk itu.

Makhluk itu kemudian melangkahkan sisa tubuhnya melewati batang pohon tempat ku bersembunyi. Sekarang wujud makhluk itu terlihat seutuhnya. Ukurannya besar, lebih besar dari beruang. Kakinya berjumlah empat seperti kaki serigala. Tetapi tubuhnya ditutupi oleh sisik seperti kadal. Ekornya pendek. Matanya menghadap depan, seperti seekor predator pada umumnya. Moncongnya panjang, dan di dalam mulutnya ditumbuhi banyak gigi taring yang sangat tajam. Satu gigi makhluk itu kira-kira seukuran ibu jariku. Makhluk itu juga tidak punya daun telinga. Saat itu aku berpikir bahwa mungkin makhluk itulah yang disebut beruang gunung. Benar-benar tidak mirip beruang, sedikitpun tidak. Makhluk itu lebih mirip naga daripada beruang. Makhluk itu diam di depan batang pohon persembunyianku selama beberapa saat, sambil melihat ke kanan dan ke kiri seperti orang yang mencari barang hilang. Kemudian dia berlari pergi dengan wajah kesal, atau mungkin wajahnya memang selalu terlihat begitu.

Semua ketakutanku terasa menguap, digantikan perasaan lega dan tenang. Dicampur dengan suasana nyaman di dalam batang pohon ini, aku pun tertidur. Aku dibangunkan oleh seberkas cahaya yang menembus lubang yang ada pada batang pohon dan kemudian menuju mataku. Entah berapa lama aku tertidur, tapi yang jelas saat aku bangun dan keluar dari batang pohon itu, matahari sudah tinggi.

Keadaan tubuhku setelah bangun tidur kurang baik. Sekujur tubuhku pegal-pegal, mungkin karena kondisi batang pohon yang sempit sehingga badanku tidak bebas bergerak saat tidur. Aku juga merasa lapar dan haus, entah kapan terakhir kali aku istirahat untuk mengisi perut dan melepas dahaga. Tetapi aku tetap memaksakan diriku untuk bergerak dan kembali ke jalan. Aku pun menemukan ranselku yang sebelumnya jatuh. Saat itu pikiranku agak kacau, aku hampir tidak ingat kalau ranselku jatuh. Saat kuperiksa isinya, ternyata masih ada sepotong roti di dalam. Roti itu sudah mulai ditumbuhi jamur, tapi aku tak terlalu peduli. Kubersihkan bagian roti yang berjamur, lalu kumakan rotinya. Biarpun hanya sepotong roti, tapi saat itu rasanya begitu enak, sudah seperti daging saja. Untuk sesaat rasa laparku menjadi reda, tapi aku masih merasakan haus. Sayangnya aku sudah kehabisan air. Yang bisa kutemukan di dalam ransel hanyalah kantung air yang sudah kering. Sepertinya aku harus melanjutkan sisa dalam keadaan haus.  Kupakai tas ranselku dan kulanjutkan berjalan. Ranselku terasa sangat ringan, mungkin karena sudah hampir tak ada isinya. Hanya ada kantung air dan beberapa barang lain. Tidak ada makanan apalagi uang. Setidaknya keadaan tas yang seperti ini tidak terlalu membebaniku.

Setelah berjalan selama beberapa menit, aku akhirnya sampai ke jalan utama. Aku hampir tak percaya kalau aku berhasil keluar dari hutan terkutuk itu. Aku sampai mencubit pipiku beberapa kali untuk memastikan bahwa aku tidak bermimpi. Di jalan utama, matahari bisa terlihat dengan jelas. Setelah kuperhatikan, ternyata matahari belum terlalu tinggi. Selain matahari, aku juga bisa melihat dan mendengar burung-burung yang terbang mencari makan. Untuk sejenak aku bisa melupakan semua pengalaman buruk yang aku alami beberapa hari belakangan ini. Semua lelahku seperti terbayar.

Dari satu ujung jalan, kulihat ada sesuatu yang mendekat. Setelah kucermati, aku melihat ada seekor kuda yang sedang menarik gerobak yang penuh dengan hasil bumi. Gerobak itu dinaiki olehseorang pria. Dia mempunyai kumis tipis dan mengenakan sebuah topi jerami yang agak lebar. Sepertinya dia adalah seorang petani yang hendak menjual hasil panennya ke kota. Petani itu melihatku yang sedang berdiri di pinggir jalan dan berhenti di depanku.

"Hei, bung. Apa kau baik-baik saja?" Tanya dia dengan nada sedikit khawatir.

"Kau kelihatan kelelahan, apa kau sudah makan?" Dia lanjut bertanya.

"Oh, ya... ya, aku sudah makan." Jawabku sambil memaksakan senyum meskipun otot-otot wajahku sudah hampir mati rasa.

"Benarkah? Syukur kalau begitu. Apa ada yang bisa kubantu?"

"Kalau bisa, aku minta air."

"Air? Tentu. Aku punya air, akan kuberikan. Ada lagi yang kau perlukan? Kau mau ke mana?"

"Aku ingin ke perbatasan di utara."

"Wow, kau masih harus menempuh perjalanan yang cukup jauh kalau ingin ke perbatasan. Tapi jika kau mau, aku bisa mengantarmu sampai ke kota berikutnya. Kebetulan aku juga ingin ke sana untuk menjual semua sayuran ini."

"Apakah anda serius?"

"Tentu saja. Ayo, naiklah. Tapi hati-hati, jangan sampai kau merusak hasil panen berhargaku."

"Terima kasih banyak, tuan. Anda benar-benar penyelamat hidup saya."

Aku pun naik ke atas gerobak dan duduk di sebelah petani itu. Dia memberiku air, bahkan dia juga memberiku roti dan keju. Aku tidak percaya aku bisa bertemu dengan orang sebaik dia di tengah jalan seperti ini. Mungkin keberuntungan sudah kembali ke pelukanku. Gerobaknya pun kembali bergerak. Selama perjalanan, kami banyak mengobrol dan berbagi cerita. Yang kami bicarakan hanya hal-hal biasa, seperti nama, daerah asal, pekerjaan, dan sebagainya. Aku memutuskan untuk tidak menceritakan hal-hal yang kulalui beberapa hari belakangan ini. Karena aku tidak ingin mengingat kembali semua pengalaman buruk itu, lebih-lebih membagikannya.


Bagikan ke:

Apa Reaksi Anda?

0


Komentar (0)

Tambah Komentar

Agenda Terbaru
Prestasi Terbaru