Sekolah Hebat Berprestasi
ASHIYA AYDA
Oleh
Mizatun Wadaniah
Siswi SMA Negeri 1 Terara
Ashiya Ayda, “Perempuan yang penuh keberuntungan”. Itu nama yg ayah dan ibu berikan padaku. Aku terlahir dari keluarga sederhana disebuah desa terpencil. Mempunyai seorang adik laki laki yang baru menginjak kelas 4 sekolah Dasar .
“Nak…belajar yang benar disana, jaga kesehatan, jangan lupa ibadah, bertemanlah dengan orang yg budipekertinya baik, jaga pergaulan juga karena pergaulan dikota sangat berbanding terbalik dengan didesa.”.
Ayah menasihatiku dengan terbata bata. Mataku berkaca kaca melihat kondisinya yang semakin buruk. Ayah memiliki riwayat penyakit usus buntu. Beliau terkena sejak aku masih duduk di bangku SMP. Penyakitnya semakin parah karena beliau sering memakan makanan pedas. Ketika aku atau ibuku melarang, beliau selalu menyahut “makan nasi tanpa rasa pedas itu sama saja dengan tidak makan. Mulut ayah tidak akan mendapat kepuasan ketika tidak mengecap rasa pedas.” Aku dan ibuku hanya bisa menghela nafas pelan.”
“Ingat kata ayah tadi. Belajar yang benar biar bisa mengubah nasib keluarga kita kelak.” Ibuku menahan isakkan sambil memelukku erat. Air mataku sudah tidak bisa dibendung lagi. Memikirkan bagaimana kehidupan ke depan tanpa ada keluarga disampingku membuatku tidak rela meninggalkan mereka. Apalagi dengan kondisi ayah yang terbaring lemah di atas kasur dengan selimut tipis yang membungkus tubuhnya.”
“Dek jangan nyusahin ayah dan ibu. Selalu taat dan patuh pada perintah mereka. Jangan nakal.” Ucapku disela sela tangisku sambil mengecup pucuk kepala adikku dengan sayang. Dia hanya tersenyum meyakinkan seperti mengatakan bahwa semuanya akan baik baik saja.”
“Aku pamit ayah, ibu, dek. Nanti aku akan menghubungi kalian ketika sudah sampai.
Assalamu’alaikum.” Pamitku sembari mencium tangan kedua orang tua.
Hari ini adalah hari keberangkatanku menuju ibukota. Alasan yang mendorongku kesini karena mendapat beasiswa bersekolah di salah satu sekolah terbaik di Indonesia. SMA Negeri Pelita Harapan. Sekolah dengan siswa siswi terpilih dari berbagai daerah di Indonesia.
Perjalanan dari desa menuju asrama orang-orang yang dapat beasiswa sama sepertiku cukup jauh. Ya. Di kota ini aku tinggal diasrama yang sudah disiapkan sekolah khusus untuk anak-anak berprestasi. Mataku enggan berkedip melihat sebuah bangunan tinggi dan besar dihadapanku. Ternyata lebih tinggi aslinya dibanding pas liat diTV yang dikampung batinku sambil cekikikan.
“Non, apa non seorang siswi baru yang dapat beasiswa?” Tanya seorang Satpam menghampiriku.”
“Ah iya pak. Bisa antarkan saya ke asrama tidak pak?” Jawabku sembari menyalami satpam tak lupa menaruh tangan beliau didahi.”
“Aduh non udah cantik, pinter, sopan lagi. Mari saya antar”. Aku hanya menanggapi dengan tersenyum tipis.”
Sesampainya di asrama seorang perempuan seumuran denganku menyodorkan tangannya hendak berkenalan.
“Haii, kamu siswa baru juga? Kenalin aku Raya anak beasiswa juga sama seperti kamu dari Bandung”.
“AkuAyda orang desa” balasku tersenyum kikuk sambil membalas uluran tangannya.
“Salam kenalAyda..Ayo ku antar ke ruangan Ibu asrama”.
Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Aku menatap langit-langit dikamarku. Mataku berat hendak terpejam tetapi sebelum itu aku mengingat satu hal. Aku merogoh tasku mengambil benda pipih mengetikkan sesuatu lalu nada dering tersambung. “Assalamu’alaikum Aydaa nak kamu sudah sampai di asramamu kan? Halo nak? Dengar ibu tidak?” Suara ibu meninggi tersirat nada khawatir. “Iya bukk. Ayda sudah sampai. Maaf telat ngabarin. Bagaimana dengan Ayah?Adek?”Balasku.
“Adek kamu sudah tidur. TapiAyah…” ibu menjeda bicaranya.
“Ayah kenapa buk?Ayah baik-baik saja kan?.” Perasaanku mulai tidak enak.
“Ibu sedang dirumah sakit. Kata dokter, ayah harus melakukan operasi secepatnya disebabkan karena usus buntu meradang dan terjadi infeksi yang cukup berat pada area selaput rongga.” Nada bicara ibu bergetar. Aku menggigit bibir menahan isakkan yang siap keluar. Ya Allah apa yang harus ku lakukan? Darimana dapat biaya operasi yang pastinya berjumlah tidak sedikit? Batinku gusar.
“Nak kamu belajar yang benar saja disana. Biar ibu yang urus ayah. Ayah pasti akan sembuh. Ayah kan orangnya kuat tidak lemah.” Ibu terkekeh kecil.
“Tapi bagaimana dengan operasi ayah?” Aku memejamkan mata menahan sesak memenuhi rongga dada.
“Ibu akan pinj-“
“Dok kondisi pasien semakin memburuk” terdengar suara seorang suster.
“BukAyah bagaimana?Yang dimaksud pasien semakin buruk bukan ayah kan?”
“Maaf nak ibu matiin telepon dulu. Mau mastiin itu bukan ayah.” Ibu mematikan sambungan
Telepon tanpa menunggu jawaban dariku. Aku menggigit bibir berjalan mondar mandir di samping tempat tidur. Cemas, gelisah, sedih, panik rasanya campur aduk ketika perkataan ibu terus terngiang ngiang dikepalaku. Aku sudah menghubungi ke sekian kalinya tetapi ibu tidak mengangkat telepon dariku. Aku mencoba sekali lagi dan sambungan terangkat. Suara tangis anak kecil dari seberang sana menyambut indra pendengaranku. Jantungku berdegup kencang.
“Halo bu? Gimana keadaan ayah?Adek kenapa nangis bu?” Sahutku cepat.
“Nakk ayah.. nak.” Suara ibu terisak. Dadaku kembali berguncang hebat. Berusaha menepis pikiran kotor yang tiba-tiba terlintas dipikiranku.
“Ayah pergi nak.. a-ayah meninggalkan kita.”
Tubuhku merosot ke lantai. Dadaku sesak. Sangat. Aku mencoba menghirup udara rakus, memukul dadaku untuk menghilangkan rasa yang teramat. Bibirku bergetar menahan tangis yang ingin keluar kencang.
“Adyaa nak istighfar. Kamu baik kan disana?. Jangan berlarut dalam kesedihan. Ayah pasti ikut sedih ketika melihat putri sulungnya menangis”. Sahut ibuku menenangkan.
“AYAHHH BU HIKS ..AYAH NINGGALIN ADYAAA!!!!” Aku menangis histeris. Tidak. Aku tidak siap hidup tanpa seorang ayah. Ini terlalu menyakitkan.
“ISTIGHFAR ADYA!! Ini sudah ditakdirkan Allah. Dimana ada kehidupan pasti ada kematian. Tidak ada yang tau kapan kematian itu tiba. Tugas kita hanya perlu menyiapkan bekal di akhirat kelak.”
Aku menarik nafas menghembuskan perlahan.
“Sekarang kamu tidur. Bukannya besok hari pertama kamu sekolah?. Kamu bisa datangsetiap hari libur jengukin ayah dimakam. Ingat kata ibu. Sedih boleh, tapi jangan terlarut didalamnya. Tugas kamu sekarang menyelesaikan pendidikan disana. Banggain keluarga kamu yang disini. Terutama ayah kamu yang sudah tenang di atas.”
Benar kata ibu. Masih ada Ibu dan Adek yang harus ku bahagiakan dengan meraih cita cita. Seutas senyum terbit dibibirku. Mulai sekarang aku harus berdamai dengan keadaan batinku menyemangati diri.
“Baiklah bu. Jaga kesehatan ibu. Aku matikan dulu teleponnya. Assalamu’alaimum.”
“Wa’alaikumussalm.”
Sebulan berlalu sejak kepergian ayah. Aku rutin pulang kampung ketika hari libur tiba. Hari ini aku menjalani sekolahku seperti biasanya. Aku berjalan tergesa gesa sambil merutuki diri sendiri melihat jam dipergelangan tangan yang sudah menunjukkan pukul 7.15. Itu artinya kegiatan pembelajaran telah dilaksanakan 15 menit lalu. Gerbang sekolah sudah tertutup rapat. Aku menunduk lesu sampai tidak menyadari berjalan ke arah belakang sekolah. Untuk pertama kalinya aku terlambat datang sekolah. Bagaimana kalau beasiswaku dicabut? Pikiranku sudah berkelana kemana mana.
“Eh Loo!!” Aku celingukan mencari sumber suara.
“Gue di atas sini!!” Kepalaku mendongak. Detik berikutnya aku memekik kaget ketika seorang siswa jatuh dari pohon tepat di hadapanku.
“Maaf ada perlu apa ya ?” Tanyaku sopan.
“Kaku banget pake aku-kamu” ujarnya disertai senyum mengejek.
“Ada perlu apa ya?” Tanyaku sekali lagi.
“Lo telat?” Tanyanya tepat sasaran.
Aku menganggukkan kepala sebagai jawaban.
“Gue bisa bantu lo masuk tapi dengan satu syarat” tawarnya sambil memasukkan tangan ke
saku celana.
“Syarat apa?” Sambarku cepat. Yang ada dipikiranku sekarang hanyalah ingin masuk kelas. Aku bergidik takut ketika membayangkan di absen dituliskan alfa. Jangan sampai.
“Lo harus kerjain PR gue secepatnya. Pas jam istirahat semuanya harus beres. Oh ya, nama lo?” Tanyanya singkat sembari melemparkan beberapa buku.
“Adya, X MIPA 1.”Jawabku.
Dia mengangguk-anggukan kepalanya disusul senyum tipis lalu memberi isyarat agar aku mengikutinya. Aku mengerutkan dahi tanda tak mengerti ketika seorang siswa tadi membawaku pada tembok yang menjulang tinggi.
“Naik!.” Perintahnya sudah mengambil posisi jongkok. Aku menggeleng tak yakin.
“Buruan ntar ketahuan guru!.” Suaranya mengeras tak ingin dibantah. Dengan ragu aku mengambil posisi berdiri diatas punggungnya lalu menaiki tembok dengan keringat dingin yang sudah mengalir dipelipis.
“Sekarang lompat!!” Aku memejamkan mata kemudian mendarat dengan keras di tanah.
“JANGAN LUPA KERJAIN TUGAS GUE!! NTAR GUE KE KELAS LO BUAT NGAMBIL. SATU LAGI, LO JANGAN BENERIN SEMUA!! SALAHIN 1 ATAU 2 NOMOR!!.” Teriaknya dibalik tembok. Aku menepuk-nepuk rokku menghilangkan debu-debu yang menempel setelah itu berlalu dari belakang sekolah menuju kelas tak menghiraukan teriakannya. Aku menghembuskan nafas lega ketika tidak mendapati guru dikelas. Beberapa temansekelasku sibuk dengan buku dan pulpennya masing masing. Jamkos huh?
“Perhatian semuanya!!. Hari ini ibu guru tidak masuk dikarenakan ada kerabat beliau yang meninggal.” Teriakkan ketua kelas disambut dengan pekikan gembira penghuni kelas. Bel istirahat berbunyi dari 5 menit yang lalu. Aku memijat pelipis pelan untuk meredakan pening yang semakin terasa ditambah lagi perutku serasa di remas remas. Penglihatanku memburam, aku mengerjap melihat disekitaranku tampak berputar putar dan kemudian aku tak ingat apa yang selanjutnya terjadi. Bau minyak kayu putih menyeruak ke indra penciumanku. Aku melihat sekeliling dan menemukan seorang siswa yang terduduk disamping brankar UKS sambil memperhatikanku lekat.
“Nyusahin.” Makinya pelan.
“Kamu kenapa bisa ada disini? Terus ngapain pegang hp aku?.” Tanyaku bingung.
“Lo tadi pingsan. Muka lo pucat kek orang sekarat. Gue tadi ke kelas lo niat ambil PR eh malah liat lo tergeletak di lantai. Gue yang bawa lo.” Sahutnya menjelaskan.
Aku meringis pelan merasa tidak enak telah menyusahkan orang lain.
“Lo belum sarapan?” Matanya memicing.
Aku menggelengkan kepala. Dia berdecak geram.
“Lo jangan balik ke kelas dulu. Tunggu disini.”
Dia berlalu dari hadapanku dengan kaki langkah lebar. Aku menepuk jidat merasa bodoh tidak menanyakan nama siswa tadi. Kenapa dia seperhatian itu? Jangan jangan dia suka sama aku? batinku menebak.
“Lo gausah kegeeran. Gue baik sama lo sebagai bentuk rasa terimakasih aja karena udah nyelesain PR gue.” Dia datang menenteng sebuah plastik.
“Makan.”
“Terimakasih.” Aku sibuk dengan makananku.
“Oh ya.. nama kamu siapa?” Aku berbicara dengan mulut penuh.
“Ck telen dulu makanannya.” Dia kembali berdecak tak suka.
“Nama kamu siapa?” Tanyaku lagi.
“Dareen.” Balasnya singkat.
“Kak Dareen cucu dari pak kepala sekolah?” Tanyaku dengan raut wajah kaget ketika menyadari nama tersebut sering kudengar. Terutama dikalangan siswi siswi disekolah ini.
“Ya.” Jawabnya singkat.
Bel pulang sekolah berbunyi sejak beberapa menit lalu. Aku menyampirkan tas dipundakku bergegas pulang ke asrama yang jaraknya cukup dekat. Lingkungan sekolah sudah terlihat sepi. Di lorong sekolah tiba tiba tasku ditarik dari arah belakang.
“Eits mau kemana lo cupu. Lo harus di beri pelajaran biar ga berani caper lagi sama Dareen pacar gue.” 3 orang siswa menyeretku paksa ke arah gudang sekolah yang sudah lama tidak di pakai. Aku memberontak minta dilepaskan tetapi hasilnya nihil. Jelas kuat tenaga mereka ber-3 dibanding aku seorang diri.
“Sttt” rintihku pelan akibat dorongan keras 3 orang siswa tadi.
“Ini tempat yang cocok buat lo. Selamat bermalam digudang bitch!! BRAKKK!!!” Suara pintu ditutup kencang membuatku berjengit kaget. Aku mencoba membuka pintu yang ternyata dikunci dari luar. Aku berteriak kencang meminta tolong namun tidak ada tanda tanda. Suaraku melemah. Aku mengeluarkan hp dari saku berniat menghubungi seseorang. Namuncassanku tersisa 2%. Kesialan apalagi ini? Batinku. Aku menghubungi kontak ibu asrama yang sudah tersimpan sejak aku tinggal disana.
“Bu… tolongin Adya. Disini gelap. Tadi ada 3 siswi yang bawa Adya ke gu-“ Suaraku tercekat ketika hpku mati. Aku melihat langit dari balik ventilasi kecil yang sudah menggelap. Suara petir disertai percikan air hujan deras menjadikan gudang yang tadinya hening menjadi berisik. Aku memeluk lutut erat ketika rasa takut menyergapku. Air mataku kembali menetes. Didalam gudang tanpa penerangan aku meringkuk dengan air mata yang yang sudah kering. Mencoba tidur mengabaikan suara berisik dari luar.
Sejak kejadian itu Aku menjauhi Dareen. Tidak mau mengambil resiko dan membuat ibu khawatir di kampung. 3 tahun berlalu. Hari ini adalah hari tepat kelulusanku. Aku dan teman seangkatanku dikumpulkan di lapangan dalam rangka acara perpisahan.
“Saya selaku ketua osis SMA Pelita Harapan akan menyampaikan sebuah kata perpisahan singkat untuk kita semua yang ada disini. Ekhm..
Perpisahan adalah ucapan menyambut hari-hari penuh rindu. Perpisahan seringkali mengajarkan kita betapa berharganya seseorang setelah dia tiada. Terkadang, pertemuan dan perpisahan terjadi terlalu cepat. Kenangan dan perasaan tinggal terlalu lama. Perpisahan yang sebenarnya adalah ketika seseorang tidak pernah saling ingat lagi. Semua cerita di sekolah ini telah berakhir. Canda, senyum, cinta , kebahagiaan dan semua momen akan menjadi akhir yang menyedihkan. Tapi, aku selalu senang karena telah memiliki waktu untuk mengenal dan bertemu dengan kalian di sini wahai teman teman terbaikku, guru guruku, keluargaku. Terima kasih telah membuat aku menjadi sosok manusia yang sebenarnya. Sampai jumpa di masa depan. Di pertemuan selanjutnya dengan senyum lebih indah dari hari ini dan tawa yang lebih kencang dari hari kemarin.” Suara ketua Osis disambut dengan tepukan menggema. Aku menitikkan air mata terharu. Semua guru dan teman-temanku pun demikian.
Untuk acara berikutnya, pengumuman dari kepala sekolah khusus buat siswa siswi berprestasi yang berhak mendapat beasiswa ke dalam negeri maupun luar negeri.” Lanjut ketua Osis. Aku mengembangkan senyum haru tak lupa mengucap syukur dalam hati ketika pak kepala sekolah mengumumkan beberapa orang dapat beasiswa ke luar negeri dan aku termasuk salah satu diantara mereka. Setelah acara perpisahan selesai, aku berniat mengunjungi ibu di kampung.
“Assalamu’alaikum ibu dan adek Aydaa pulang.” Senyumku tidak berhenti mengembang.
“Wa’alaikumussalam nak. Kenapa tidak ngehubungin ibu kamu pulang hari ini?” Ibu bertanya dengan nada sedikit kesal.
“Biar jadi Surprise bu. Ngomong ngomong adek dimana?” Tanyaku.
“Dia pergi kerja kelompok ke rumah temannya. Bentar lagi juga pulang.” Jawab ibu.
“Ibu Adya punya kabar baik!!. Adya dapat beasiswa ke luar negeri bu!! Ayah pasti bangga punya putri seperti Adya.” Ucapku dengan nada bahagia dan rindu secara bersamaan. Mata ibu berkaca-kaca lalu memelukku erat.
“Kamu memang anak kebanggaan ayah dan ibu nak. Ayah, Ibu, dan adek bangga punya kamu.”Ibu menepuk-nepuk punggungku dengan air mata penuh kebahagiaan.
“Ingat pesan ibu. Dimanapun kamu berada jangan lupa solat. Jangan pernah tinggalkansolat. Seandainya suatu saat nanti ibu tidak ada disaat kamu sukses, ingat ada adek kamu. Ada dia yang harus kamu jaga dan bahagiakan. Jangan pernah menangis dihadapan adekmu. Kalian harus bisa saling mengerti, saling support satu sama lain.” Aku semakin mempererat pelukan ibu. Seakan akan tidak ada hari esok untuk merasakan pelukan hangat ini.
Aku pulang kampung dengan wajah berbinar bahagia. Aku telah menyelesaikan wisuda di perguruan tinggi Harvard, Amerika Serikat. Aku bersenandung kecil dan setibanya di rumah, mataku terpaku melihat ibu terbaring lemah di kasur dengan selimut tipis membungkus tubuhnya. Rasanya seperti dejavu.
“Ibu, ibu kenapa bisa seperti ini? Kenapa tidak beritahu Adya kalau ibu sakit begini. Adek kemana kenapa tidak merawat ibu?” Hatiku perih dan mataku memerah.
“Sekarang kamu sudah menyelesaikan pendidikan di universitas ternama nak. Kamu bisa lebih mudah mencari pekerjaan dan membiayai pendidikan adik kamu.” Sahut ibu sambil terbatuk batuk. Aku memalingkan wajah tidak kuat melihat pemandangan didepanku. Suara batuk ibu tak kunjung reda. Mataku membulat ketika melihat darah mengalir di hidung .
“Ibu ayo kita ke Rumah Sakit. Hidung ibu berdarah.” Bibirku bergetar melihat darah yang semakin mengalir deras keluar dari hidung ibu. Aku memapah ibu untuk naik ke mobil. Sesampainya di rumah sakit, aku menggigit jari berjalan mondar mandir di depan ruang UGD. “Dok gimana keadaan ibu saya?.” Tanyaku dengan mata memerah siap menumpahkan isinya.
“Ibu anda mengidap penyakit leukimia akut tipe AML.”
Aku menutup mulut shock. Kepalaku pening mendengar berita yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Leukemia mieloblastik akut (AML) adalah jenis kanker darah yang mengakibatkan sumsum tulang tidak dapat menghasilkan sekelompok seldarah putih seri mieloid yang matang. Kemungkinan meninggal dunia bisa mencapai 90%.
Mataku menatap kosong.
“Kak, ibu kenapa? Bagaimana keadaan ibu?. Tadi aku habis dari apotek. Ibu nyuruh beli obat ini.” Adikku memperlihatkan obat tersebut dengan wajah khawatir menanti jawabanku. Aku memeluk adikku erat dan menyembunyikan wajahku di bahunya guna meredam isakkan yang keluar.
“Ibu terkena kanker darah akut. kemungkinan untuk sembuh sangat sedikit. Kita doain ibu biar diberi kekuatan sama Allah ya.” Suaraku berubah parau.
Tangis adikku pecah. Aku mencoba menenangkan dengan memberikan kalimat penyemangat. Seminggu berlalu. Kondisi ibu semakin memburuk. Tubuhnya semakin kurus dan pucat.
“Dokter detak jantung pasien melemah.”
Aku menahan nafas sejenak. Menunggu diluar ruangan dengan perasaan yang tak bias dijelaskan.
“Dengan keluarga pasien?. Maaf kami sudah mencoba melakukan yang terbaik. Tetapi pasien tidak bisa diselamatkan.” Aku memejamkan mata berharap semua ini hanya mimpi. Kalimat ibu waktu itu terngiang ngiang dikepalaku.
“Seandainya suatu saat nanti ibu tidak ada disaat kamu sukses, ingat ada adek kamu.”
Kalimat itu secara tidak langsung sebagai kalimat perpisahan yang tidak kusadari. Aku membengkap mulut ketila air mata merembes keluar tak bisa ku tahan.
“Kakak.. kenapa nangis? Kakak tidak mau masuk lihat ibu? Kenapa malah nunggu di luar?.” Suara adikku menyadarkanku.
“Jangan pernah menangis dihadapan adekmu.”
Kalimat ibu kembali terngiang ngiang. Aku mengusap air mata kasar.
“Loh kak, kok alat alat yang dipasang ditubuh ibu dilepaskan?”
Aku menghirup nafas dalam lalu menghembuskan kasar.
“Ibu sudah di Surga sama Ayah.” Jawabku serak. Rasanya kerongkonganku tercekik. Adikku menggeleng geleng kepala sambil terkekeh garing.
“Candaan kakak tidak ada lucunya sama sekali.”
“Ibu sudah meninggal!!. Kakak tidak bercanda. Ini semua sudah ditakdirkan Allah.”
Suara raungan tangis pilu memenuhi ruangan. Aku memeluk adikku menenangkan. Memberi support seperti yang dikatakan ibu waktu itu. Setahun berlalu. Aku membawa adikku pindah ke kota dan melanjutkan sekolahnya disana. Aku bekerja disebuah perusahaan terbesar di Indonesia sebagai seorang sekretaris CEO. Hari ini adalah hari pertamaku bekerja.
“Apa anda sekretaris baru tuan?”
Aku menganggukkan kepala dengan wajah dihiasi senyum tipis.
“Mari saya antar ke ruangan tuan.”
Aku meniup niup tanganku lalu mengusap pelan. Rasa gugup menyerangku. Menarik nafas panjang kemudian menghembuskan pelan. Aku berdiri didepan ruangan CEO meraih handel pintu kemudian.
“Sudah lama tidak bertemu… Adya?” Badanku menegang. Suara familar menyambut indra pendengaranku. Didepanku Seorang pria dewasa dengan mata tajam, hidung mancung, bibir tipis, bulu mata lentik, rahang tegas, dan tinggi badanku hanya sebatas lehernya. Aku memalingkan wajah terpesona. Dia…kak Dareen.
Aku memundurkan langkahku ketika dia melangkah maju semakin dekat sampai punggungku mentok di pintu. Dia mengurungku dengan kedua tangan kekarnya. Aku berusaha mendorong tubuhnya menjauh tetapi tenagaku tidak ada apa-apanya dibandingkan dia.
“Saya suka sama kamu sejak pertama kali bertemu Adya. Kenapa kamu malah menjauhi saya ketika saya mendekat. Kenapa kamu berpaling ketika saya menatapmu. Hati saya sakit.” Ucapnya dengan nada serak. Aku merinding mendengar suaranya dari jarak dekat seperti ini. Aku mencoba melepaskan diri dengan sekuat tenaga dan berhasil. Wajahku memerah menahan amarah. Tidak suka dikurung seperti tadi.
“Maaf tuan,, saya disini sebagai sekretaris anda. Saya harap anda bisa bekerja professional” Ucapku masih dengan amarah yang dipendam. Dia merubah rautnya menjadi datar.
Aku merutuki diri sendiri ketika baru menyadari bahwa nama panjang CEO di perusahaan ini adalah Dareen Edward Reginald. Aku menjalani pekerjaan disetiap harinya dengan perasaan dongkol. Dareen selalu membuatku kerja lembur. Aku dan dia semakin hari semakin dekat. Sampai suatu hari aku menyadari perasaan aneh ketika berada didekatnya. Matanya terlihat sangat tulus ketika bertatapan denganku. Sampai di suatu hari Dia melamarku didepan umum. Didepan seluruh karyawan dan semua penghuni perusahaan. Bahkan media menyorot kami.
“Tahukah Kamu? Satu-satunya orang yang memenuhi syarat untuk menjadi istriku adalah Kamu. karena, syarat pernikahan yang langgeng adalah jatuh cinta berkali-kali pada orang yang sama. Will you marry me?”Dia mengeluarkan sebuah cincin dari sakunya.
Mataku berkaca kaca terharu.
“Yes, I will.” Jawabanku disambut sorak sorai penghuni perusahaan. Dareen memasangkan cincin dijari manisku lalu mengecup kepalaku dan memelukku erat.
Ayah dan ibu Adya sudah menemukan orang yang tepat sebagai pasangan hidup. Doain Adya darisana semoga kelak keluarga kecil Adya hidup aman, tenteram menjadi keluarga sakinah mawwadah dan warahmah Batinku tersenyum rindu kemudian jari Dareen terulur menghapus air mataku yang tanpa sadar lolos.
“Jangan nangis. Soal tangis kamu aku lemah. Disini jadi sakit.” Mata Dareen berkaca kaca sambil menunjuk dadanya.
“Lebay.” Jawabku terkekeh kecil.
“Beneran Sayang.” Pipiku memerah mendengar panggilannya.
Tamat
Komentar (0)