Sekolah Hebat Berprestasi
Sebongkah Tubuh
Oleh
Dedi Irawan
Matahari bersiap tenggelam di ujung barat. Pohon-pohon nangka bergemerisik yang kelihatan hijau. Pujuk gunung Renjani kebiruan dilihat dari jauh. Langit sangat bersih, biru cerah, menjadi latar belakang menonjolkan kegagahan gunung Renjani itu.
Keindahan alam sore hari saya potret dari berbagai sudut. Selesai memotret, saya menoleh berkelilingan, dan melihat sosok tubuh yang duduk mentap burung-burung berterbangan. Saya ingin segera memotretnya.
Burung walet berterbangan mengapakan sayapnya mengisi langit-langit desa. Terbang dengan formasi tarian mengundang burung yang lain. Percaya atau tidak, formasi terbang burung bisa menjadi inspirasi manusia mengejar sesuatu yang harus di capai dalam kehidupan.
Tiba-tiba terdengar suara klakson yang sangat keras dari belakang. Sebuah mobil angkutan penumpang umum jurusan Kota Raja - Paomotong berjalan pelan. Dia kelihatan lemah, segera duduk di sebuah warung kopi pinggir jalan. dan bersama itu dia mulai melihat saya.
“Buk,” Katanya, sambil mengangkat tas dari samping kanannya. Seret letting tasnya setengahnya kebuka, di dalam kelihatan tumpukan tembako tersusun rapi.
Saya langsung mulai menikamati scangkir kopi yang sudah di suguhkan beberapa menit tadi oleh penjula kopi. Pada saat itu saya merasa lelaki tua itu memperhatikan saya. Akhirnya, saya menegok kearahnya. Benar juga. Dia memperhatikan saya.
“Pak, ya?” katanya sambil memperbaiki posisi tasnya lagi.
“Mikirin apa?” Tanya ku
“Anu… ,” katanya gugup,” sambil menengok kearah kiri simpang jalan itu.
Saya tidak tahu dia ingin mengatakan apa. Rasanya saya ingin sekali dia harus bercerita, apa yang telah terjadi pada dirinya. Tapi, apakah dia mau bercerita? Saya memikirkan bagaiman cara memancingnya agar tidak ada rasa tersinggung sama sekali.?
Lama juga kami terdiam. Kelihatan wajahnya dia tidak bersedia betul bercerita apa yang sudah dialami. Setelah saya menekan perasaan ku kuat-kuat untuk menemukan benang merahnya. Akhirnya saya memecahkan kesunyian dengan cara mulai bercerita tentang diri saya kenapa aku disini. Saya katakan bahwa saya menunggu teman, katanya dia sudah menunggu saya di warung kopi ini. nyatanya tidak ada orangnya. Bahkan saya sudah menunggu hampir dua jam.
“Hmmm,” Sambil mengangguk-ngangguk kepala.
Kami terdiam lagi. Sesudah menarik nafas dalam-dalam, akhirnya dia mengeluarkan suara, “ Tapi saya…, tidak ada harapan lagi hari ini…”
Kembali helaan nafas, dalam-dalam. “ Saya berada disini karena apa,” lanjutnya. Saya tukang jual tembako. Ada teman tetangga dirumah saya. Kemarin dia sempat mencicipi rasa tembako yang saya jual. Setelah dia suka rasanya akhirnya diambil satu, seharga enam puluh ribu. Seharusnya tembako yang saya berikan itu harga pasnya enam puluh lima ribu. Katanya besok dia bayar. Lebih-lebih disuruh saya juga jualan kerumhnya sambil dia bayar tembako yang dia bawa kemarin itu. Namun, apa yang saya temukan tadi. Tidak ada apa-apa, hanya dia mengatakan belum punya uang. Nanti saya kerumh-Mu untuk bayar. Saya mintak saja setengahnya untuk bayar mobil angkutan. Tapi, dia jawab belum punya uang saja. Saya ingat, kata temannya dekat rumah saya itu. dia mau pergi merantau, kalau nggak salah saya ingat malam ini dia berangkat. Makanya saya tidak menunggu hari lama menghampirinya. Saya pikir dia mau nambah lagi. tembako yang saya jual ini, bukan tembako saya sendiri. Saya disuruh jualan, hanya dapat upah lima ribu dalam satu plastik berukuran tanggung ini.
Saya teperangah. Gila, pikir saya. Apa yang di depan saya benar-benar kenyataan yang sangat buruk, tidak pernah saya bayangkan akan dapat terjadi. Kami terdiam lagi beberapa saat sebelum dia melanjutkan.
Kalau saja saya punya uang sepuluh ribu saja nak saya akan pulang. Saya berharap sekali hari ini dibayar tembako yang dia bawa kemarin. Kebetulan ongkos mobil angkutan Kota Raja - Paokmotong itu sepuluh ribu.
Kami terdiam lagi.
Kalau saja saya punya uang lima puluh ribu, tentu saya akan membantu kakek Tua ini. saya sedih sekali karena tidak dapat membantunya. Oleh karena itu saya terdiam, dan memperhatikannya. Tidak dapat saya bayangkan apa yang sedang dipikirkannya kakk Tua saat ini. Hanya saya punya uang lima ribu, untuk bayar kopi.
“ Ini hari Kamis,” tiba-tiba Kakek Tua memecahkan kesunyian dan kesedihan di antara kami.”
“Busett itu juga, kemana sih. Katanya dia sudah menunggu saya di warung kopi ini. Nyatanya saya menunggu lama. Hpnya dimatiin lagi. Maman yang ngatarin saya kesini kemana juga. Tiba-tiba dia menghilang. Katanya tadi dia akan balik.
Ibu sik pemilik warung kopi sudah membereskan semua barang jualannya. Kemudian siap berangkat pulang. “ saya harus pulang dulu nak. Besok jualan lagi,” katanya.
“Tunggu buk. Saya belum bayar,” kata saya sambil menyerahkan uang sebanyak 5000, semua yang ada di saku saya.
Kami kembali berpandangan sama sik kakek Tua. Saya tidak tahu apa yang dipikirkannya.
Suara azan maghrib sudah berkumandang di masjid Jamiq Raudathul Muttakin. Warga setempat jelas sekali hentakan kaki mereka masuk ke area masjid.
“Cucu ku dari mana?” Tanya sambil menatap layu titi bola matanya.
“Saya di bagian timur, dekat Paokmotong kek.” Jawab ku.
Ia menoleh, mengangguk, dan tersenyum tipis sekali.
“Kek, kita sholat dulu ya. Nanti pikirkan masalah pulang. Saya temannya pulang.” Kataku sambil membalas senyumnya.
“ Ya.” Jawab kake Tua.
Maka kami pun sholat berjamaah di masjid Jamiq Raudathul Muttakin.
“Dy.” Panggil Pak Mahrep
Saya menoleh kearah suara, di bagian sebalah kanan. Setelah selesai Sholat berjamaah. Kake Tua sudah duduk di bibir teras masjid. Tidak tahu, apa yang dia pikirkan.
“ Om.” Kataku
“Kamu sudah kemana?” Tanyanya
“Anu…,” kata saya gugup, terbata-bata.
“Anu, apa?” Tanyanya lagi.
“Gini Om, tadi sore teman ku sik Bagas. Mengajak saya temui dia di warung kopi dekat persimpangan itu. soalnya, ada uang yang dia pinjam beberapa bulan yang lalu. hari ini dia mau ganti. Tapi, hanya kososng. Dia bohongi sebongkah tubuh ini.” saya bercerita sesungguhnya.
“Trus.” Tanyanya lagi.
“Om, sekarang mau pulang kan?” Tanya ku
“Ya.”
“ Saya mau ikut, sama kakek Tua itu.” Kataku sambil menoleh sebongkah tubuhnya kake Tua masih duduk di bibir Masjid.
“Nanti sudah saya bercerita panjang lebarnya ya. Di atas mobil.”
Hentakan kaki saya gesit menghapiri kake Tua duduk di bibir masjid menghadap timur. Dia memeluk lutut.
“Kek, ayo kita pulang. Pakek mobil angkutan Om saya ini.” Kataku sambil memandang wajahnya sik Kakek.
Kami bercerita terus sepanjang jalan. Malam menghalangi pemandangan pinggir-pinggir jalan. Saat itu kami tiba-tiba terdiam, sama-sama saling memandang di dalam mobil angkutan Om Mahrep.
“Iya, ya. Kenapa kejadian hari ini sama yang kita temukan kek. Mereka seenaknya membohongi sebongkah tubuh kita ini. syukurlah jangan sampai kita seperti itu kek sama orang lain. gimana sakitnya. Seperti apa yang kita rasakan saat ini.” kataku dalam hati sambil melirik wajahnya sik kakek Tua.
“Stop. Saya turun disini, rumah ku dekat persimpangan ini. ” Kata kakek Tua
“Terima kasih banyak,” katanya lagi sambil menjabat tanganya.
Saya mengangguk sambil tersenyum. Kemudian mulai berjalan meninggalkan tempat itu. Saya masih memandanginya sampai sebongkah tubuhnya hilang di persimpangan itu. Saya masih belum percaya bahwa inilah hidup seenaknya di bohongi. “katanya, tapi apa. Nyatanya seperti ini kami temukan.
Komentar (0)