Sekolah Hebat Berprestasi
SILUET SENJA
Oleh
Dedi Irawan,S.Pd
Guru SMA Negeri 1 Terara
Namaku senja, aku seorang gadis desa yang lugu, apa adanya, bahkan bisa dikatakan kuper alias kurang pergaulan.
Layaknya namaku, suasana senja yang sering dinantikan banyak orang karena keindahannya, namun tanpa disadari Ia akan tenggelam diselimuti kegelapan. Aku sering larut dalam kesendirian, saat senang dan susah sama saja, lebih-lebih dalam situasi dan kondisi yang membingungkan seperti saat ini. Sosok yang kunantikan tak kunjung datang. Seorang pemuda yang selalu mengisi hari-hariku dengan senyuman. Meskipun demikian, aku tetap menyadari batas-batas kisah kasih seorang muslimah dalam al-qur'an.
"Senja... "
"Ya, ma.. "
"Sini, duduk temenin mama"
"Ya, ma... "
Kulangkahkan kakiku dengan gontaian yang malas.
Kadang setiap mama memanggilku, aku merasa tertekan. Entah kenapa mama selalu menanyakan satu kalimat yang tak pernah bisa kujawab.
"Kapan? "
"Kapan apaan sih ma..? "
Aku selalu pura-pura tidak memahaminya.
"Kapan nikahnya? "
Aku terdiam sejenak. Dan...
"Ha ha ha... Mama...mama.. "
"Anak mama kan cewek, masa ngajak nikah duluan, malu ah.. "
" Kamu itu sudah dewasa, nak"
"Sudah waktunya berumah tangga, tuh lihat teman-temanmu sudah nikah semua"
"Ah... Mama, kalau sudah waktunya, jodohku tidak bakalan kemana ma... "
Aku menjawab sambil melangkah pergi meninggalkan mama.
Hmmm.... Hati yang rumit dan sulit untuk memahami kehidupan, semuanya tetap kuserahkan padaNya.
***
Pagi yang cerah
Kulangkahkan kakiku menuju sebuah madrasah tempatku mengajar.
"Assalamu'alaikum ustadzah... "
"Wa'alaikumussalam... "
Sebuah sapaan yang menyejukkan hati setiap memasuki gerbang madrasah. Siswa dan siswipun berebutan saling dorong untuk bersalaman. Itulah indahnya sebuah sekolah keagamaan, mereka lebih mengenal akhlaq dan adab.
Hari ini kulalui dengan menyenangkan, semua yang membuatku resah kutepiskan. Rindu yang bergejolakpun sejenak kujauhkan.
"Ja... "
"Ya, ce... "
Panggilan sayangku pada salah seorang ustadzah. Namanya Husni, tapi aku biasanya panggil dia Ce.
"Pulang sekolah main ke rumah ya"
"Kenapa? "
"Ada yang ingin aku ceritakan"
"Segitu panjangnya ya ceritamu, emangnya gak bisa diceritakan dsini? "
"Gak bisa, nanti aja ya di rumah"
"Ok"
Aku meninggalkan Ce yang senyum-senyum sendiri melihatku. Entah apa yang dia pikirkan saat ini tentangku.
***
Jam sudah menunjukkan pukul 02.00 siang.
Aku melirik setiap sudut ruangan rumahku, siapa tahu ada mama di Pojokan hehehe...
Sayangnya gak kutemukan.
"Maaa... "
"Ya, Ja... "
"Senja pamit dulu yaaa...mau ke rumah Ce"
Aku sedikit berteriak minta izin. Tiba-tiba...
(Bug... )
Sebuah bantal menghampiriku.
"Astagfirullah... Mama... Sakit... "
Aku sedikit meringis karena dilempar bantal sama mama.
"Lain kali jangan teriak, nanti dikirain ada kebakaran sama tetangga"
"Emang lagi kebakaran ma.. "
"Hah... "
"Kebakaran dalam hati, panas... Ha ha ha "
"Hus.. Jangan ngawur, gak baik buat kesehatan"
"Ah.. Mama... Cuma bercanda aja, pamit dulu ya ma.. mau ke rumah Ce "
"Jangan sampai magrib ya... "
"Ya mama sayang... "
Aku mencium tangan mama dan berlalu menuju rumah Ce.
Hemmmm... Kira-kira Ce mau cerita masalah apa ya?
Sepanjang perjalanan pertanyaan itu terus terngiang di benakku. Sampai aku tiba di depan rumah Ce.
"Assalamu'alaikum... "
"Wa'alaikumussalam, Ja... Akhirnya kau datang juga"
"Eh... Langsung aja ya ke kamarmu untuk cerita, gak enak kalau di Teras"
"Hahaha... Siapa juga yang mau cerita di Teras, Ja... "
"Ini rahasia antara kau dan aku"
Mataku terbelalak mendengarnya, sampai segitunya si Ce, kami langsung menuju kamar.
"Ja... Aku mau nanyak sesuatu, tapi ini masalah pribadi"
"pernah gak selama ini aku sembunyikan masalahku sama kamu, Ce"
"Hemmm gak pernah sih, cuma gak enak aja, jadi harus izin dulu he he he"
"Udahlah gak usah cengengesan, emangnya ada apa sih? "
"Ja... Kamu kenal gak, sepupuku yang bernama Mas Jihad? "
"Hemmm gak kenal, emangnya kenapa? "
"Dia itu sepupuku dari keluarga mama, sekarang dia tinggal di Surabaya, mau melanjutkan S2 nya di sana. Tapi, kemarin dia sudah datang ke sini. Waktu di Jalan, katanya dia ketemu sama mama kamu. Dia cerita, katanya mama kamu orangnya lucu he he he... "
"Hemmm tapi mama gak pernah cerita tentang mas Jihad"
"Mungkin sengaja hehehe"
"Eh, Ja. Tau gak mamamu nyuruh mas Jihad deketin kamu lho... "
"What!!! "
Aku terperanjat mendengar perkataan Ce, mama tega sama aku, masa sampai segitunya dia mau lihat aku untuk married.
"Ja, katanya mas Jihad udah sering lihat kamu di Facebook. Dia nitip salam buat kamu, mau gak jadi calon pendamping hidupnya. Aku sih senang lihatnya biar kalian jodoh, kan kita jadi ada hubungan keluarga lebih dekat "
"Ih... Apaan sih Ce, terkadang melihat dengan sepintas itu bukan berarti langsung mau sama orang, melainkan hanya sebatas suka aja. So, aku gak mau berharap banyak, lagi pula aku kan sudah ada hubungan dengan pacarku yang jauh di sana."
"Hubungan jarak jauh itu bikin nyesek, Ja"
"Udah gak ada kabar, dihubungin susah. Statusnya jadi gak jelas gitu. Wanita jangan cepat mudah tertipu. Ingat ya, setia itu bukan sama pacar tapi sama suami "
"Iya Ce... Aku ingat, tapi... "
"Sudahlah gak ada tapi-tapian, sekarang kamu mau Terima mas Jihad atau tidak? "
"Beri aku waktu untuk berpikir Ce. Mencintai itu tidaklah semudah membolak balikkan telapak tangan, semua butuh proses"
"Baiklah aku beri waktu satu malam ya untuk menjawabnya"
"Oke, kalau begitu aku pulang dulu ya... "
Aku melangkah pelan tapi pasti. Sampai malam pun aku tidak bisa terlelap, kepikiran terus sama permintaannya Ce.
Hmmm... Mas Jihad itu orangnya seperti apa ya? Apakah Dia baik? Apakah Dia penyayang? Apakah Dia seperti yang kuharapkapkan selama ini? Semua pertanyaan terlintas di benakku dalam sekejap. Ada rasa senang, tapi ada rasa takut yang bergejolak juga. Malam semakin larut, aku terlena dengan prasangka yang ada di benakku hingga terbuai mimpi.
Mimpi indah...
***
Hari ini cerah, secerah harapanku. Aku duduk di teras depan rumahku. Menikmati secangkir teh hangat yang ada di sampingku, tanpa melepas gadget di tanganku. Jari jemariku terus naik turun menelusuri sebuah nama dalam pencarian di Facebook. Jihadurrahman. Passss... Akhirnya sederet nama Jihadurrahman kutemukan. Ce bilang, foto profilnya itu pakai baju taqwa putih dan peci putih. Dan...
Hah!!! Sungguh diluar dugaanku.
Ternyata aku sudah berteman. Pantas saja Dia sering lihat foto dan statusku. Tidak hanya itu, aku bahkan pernah bertemu 2 kali dengannya, saat menunggu jemputan pulang sekolah, Dia pernah menyapaku dan bahkan menanyakan rumahnya Ce, aku pikir Dia kenalannya Ce, rupanya dia sepupunya.
Takdir memang selalu tak pernah bisa disangkakan. Tiba-tiba...
"Ehem... Cari profilku ya... "
Aku tersentak dengan ucapan seseorang yang muncul di belakangku.
"Assalamu'alaikum, dik"
Wa'alaikumussalam, mas Jihad. Kapan datang? "
"Baru saja dik, udah ke rumah Ce tadi, sekalian mampir ke sini cari jawaban"
"Cari jawaban apa mas? Ada PR Mate-matika atau PR Bahasa Indonesia? "
Aku pura-pura mengalihkan pembicaraan.
"Aku cari jawaban soal rasa"
"Rasa apel atau strawbery? He he he"
"Rasa cinta he he he"
Seketika wajahku memerah menahan malu.
"Dik, pernah dikasi tahu sama Ce kan masalah ini? "
Aku hanya menganggukkan kepala.
Pura-pura tenang meskipun jantung berdegup kencang.
"Terus? "
"Apanya? "
"Jawabannya, dik? "
Dia menyunggingkan senyumnya. MasyaAllah...
Hatiku berdesir, entah dari mana datangnya rasa nyaman ini.
"Ayo dong dik dijawab"
Hmmm...
"Sebenarnya... Anu... "
Belum sempat kujawab tiba-tiba mama muncul.
"Eh... Ada Jihad, kapan datangnya? "
"Baru saja tante"
Dia tersenyum sambil bersalaman mencium tangan mama.
"Jangan pelit senyum"
Mama sedikit berbisik ditelingaku.
"Ih.. Mama apaan sih"
Aku jadi serba salah tingkah di hadapan mas Jihad.
"Ya sudah mama pergi dulu, mau belanja sayur"
"Jihad, tante pergi dulu ya"
"Iya, tante., "
Mama berlalu sambil senyum-senyum sendiri melihatku. Aku mencoba bertanya pada mas Jihad.
"Mas, kenapa mau sama aku? Kenapa mas tidak pilih wanita lain? "
"Hmmm... Hanya masalah hati dik"
"Apa mas tidak takut kalau aku tolak? "
"Hehehe jadi beneran mau ditolak nih? "
"Hehehe gak juga sih mas, cuma masalahnya.... "
"Masalahnya adik masih menunggu kepastian dari si dia kan... Aku udah tebak kok"
Hah!!! Segitunya sih ini orang, main ceplas ceplos aja ngomongnya, meskipun ku akui itu benar. Aku memang menunggu kabar Andre yang jauh di sana, Dia memang jarang menghubungiku, meskipun sesekali dia menelpon hanya menanyakan sebatas kabar tanpa bertanya masalah hati, tapi itulah bodohnya aku yang tetap menunggu, menunggu sebuah kepastian yang tak kunjung pasti. Entah bagaimana sikap yang akan aku ambil saat ini. Mas Jihad datang begitu saja memberikan sebuah harapan pasti, meski belum berani aku berikan keputusan. Aku terdiam, mas Jihad bisa baca pikiranku, ia pun nyeletuk.
"Dik, menunggu itu memang membosankan, layaknya menunggu antrian panjang di Bank. Tapi pada akhirnya bahagia jika memang sesuai dengan apa yang kita harapkan"
"Sekalian aja mas bilang, uang yang diterima mohon dihitung di depan teller hehehe"
"Hahaha... Ya begitulah kiranya, aku tidak bisa memaksakan kehendakku padamu dik. Bila perlu istikharahlah, temukan petunjuk. Jika memang aku yang terbaik untukmu, maka kau akan buka pintu hatimu untukku. Tapi jika sebaliknya, maka Allah SWT akan mendatangkan cara yang lain supaya kita tidak bersama"
"Terima kasih mas, lega rasanya"
"Aku pamit dulu ya, ma uke rumah Ce. Salam buat ibu"
"Ya mas... "
"Assalamu'alaikum..."
"Wa'alaikumussalam... "
***
Senja yang berkabut kini semakin bingung. Kapan semua ini akan mencapai titik akhir. Benar kata orang "Mendapatkan sinyal ketenangan dalam mencari jodoh itu memang sulit".
Aku mencari jawaban di setiap sepertiga malam. Tapi masih menunggu jawaban dari secercah titik terang.
Tiga bulan berlalu, aku belum memberikan mas Dimas jawaban. Terkadang setiap bertemu dengannya, aku tidak tahu harus menjawab apa. Sulit kuungkapkan. Aku mau menerimanya, tapi aku takut ada yang terluka. Menunggu juga salah, karena setiap kutanyakan soal hubungan ke Andre, Dia selalu bilang sabar.
Sementara mama, selalu menyuruhku agar cepat-cepat menerima mas Dimas.
Empat bulan berlalu. Setitik jawaban sudah mulai muncul. Ketika aku mendapat tugas dari madrasah untuk mengikuti sebuah pelatihan KKG. Aku bertemu dengan seorang peserta, Ia duduk tepat di sebelahku. Aku mulai berkenalan. Namanya Intan, Dia bekerja di Madrasah yang berKKM sama denganku. Kami lama mengobrol sebelum mulai pelatihan. Bahkan, waktu aku menanyakan status pernikahan, Ia menjawab dengan santainya
"InsyaAllah bulan depan ustadzah, karena kami juga dijodohkan".
MaasyaaAllah... Jawaban seperti itu juga kapan ya saya ucapkan he he he. Jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Tak lama kami mulai pelatihan sampai pukul empat sore. Saat pulang, aku berjalan keluar, di sana sudah ada Ce yang menungguku di parkiran. Ia tersenyum sambil melambaikan tangan kepadaku. Tiba-tiba...
"Ja, saya duluan ya... "
"Iya Tan, ada yang jemput? "
"Iya, kebetulan si Dia yang jemput"
Si Dia maksudnya calon suaminya.
"Wah.... Keren, ayo kita sama-sama ke parkiran"
"Ayo, nanti saya kenalkan padanya"
Intan begitu kelihatan bahagia. Saya pun turut bahagia dong tentunya. Kalau di KKM itu, meskipun bertemu sehari, rasanya seperti bertemu saudara jauh, karena kami sepenanggungan di bawah naungan yang sama. Sesampainya di parkiran, aku langsung bertemu Ce dan Intan menelpon seseorang.
"Sayang... Ayo masuk, nih ada teman yang temenin aku"
Waaaahhhh...
Panggilan "sayang" Kapan ya terakhir aku ucapkan itu. Kayaknya kemarin, tapi sama Ce ha ha ha....
Aku manggut-manggut dan senyum dalam hati. Ce yang sudah sadar dengan kedatangan seseorang dengan segera menutup wajahku. Tiba-tiba...
"Ja, ini calonku" Kata Intan
Aku melepaskan tangannya Ce, dan...
Tubuhku jadi gemetar, dadaku sesak, dengan sekejap tubuhku berubah jadi dingin dan kaku.
Bagaimana tidak?
Orang yang di depanku adalah orang yang selama ini aku tunggu-tunggu kehadirannya. Berharap ini adalah mimpi untuk yang kesekian kalinya. Tapi sayang... Ini nyata di depan mata. Aku pura-pura tersenyum bahagia di depan Intan. Meskipun Andre menjadi salah tingkah di depanku.
"MaasyaaAllah tabarokallah... Semoga kalian menjadi keluarga yang samawa yah.."
"Terima kasih" Intan menjawab dengan senyuman di bibirnya.
"Aku duluan yah... "
"Hati-hati, Ja"
"Iya... "
Tanpa menoleh lagi aku menarik tangannya Ce, hatiku sakit, sakit, dan sakit. Entah bagaimana ekspresinya Andre saat aku berlalu, aku tidak peduli. Aku hanya tahu kalau dunia terasa gelap bagiku saat ini. Sesampainya di rumah, aku tidak membiarkan Ce pulang. Ia pun memahami situasi, Ia minta izin keluarganya untuk menginap di rumahku malam ini. Aku mengunci pintu kamarku. Ce memelukku, tanpa kusadari bening-bening kristal mengalir di pipiku dengan derasnya. Tanpa suara. Tanpa isak tangis. Aku linglung. Ce terus menyemangatiku.
"Sabar, Ja. Sabar... "
Aku terus menangis di pundaknya.
"Mungkin ini cara Tuhan menjawab do'amu selama ini. Kamu orangnya sabar, InsyaAllah kamu dapat orang yang lebih baik daripada Andre"
Aku mulai sadar, apa ini jawaban do'aku di setiap malamku?
"Setiap orang akan memiliki ujian hidup. Allah SWT tidak akan membebani hambaNya suatu masalah, kecuali hambaNya itu mampu menanggungnya"
"Setia itu sama suami, bukan sama pacar"
Ce terus berusaha menghiburku. Aku mencoba duduk. Memahami setiap pesan yang diucapkan Ce. Mungkin Ia benar. Selama ini aku terlalu setia sama Andre sampai aku lupa kalau jodoh sudah diatur olehNya. Tapi kenapa Andre tidak pernah cerita masalah ini?
Apa Dia sengaja menyembunyikan masalah ini?
(Desir pasir di padang tandus. Segersang pemikiran hati..... Bla bla bla)
Lagu Rossa, Ayat-ayat Cinta bersenandung di HP ku.
"Ja, ada telepon"
Aku hanya menoleh. Namun tetap diam dan tidak memperdulikannya.
"Ja, ini dari Andre"
Tanpa basa-basi, aku langsung mengambil handphone dari tangan Ce. Begitu aku jawab, tanpa kusadari aku menangis sejadi-jadinya.
"Kamu jahat" Hanya itu yang mampu kuucapkan.
"Maafkan aku, Ja. Huhuhu"
Suara tangis Andre dari dalam Handphone mulai aku dengar. Ia terus meminta maaf, tapi aku tak menjawabnya. Hanya air mataku yang mengalir. Ce mengambil handphone dari tanganku. Ia berusaha menenangkan Andre dan meminta penjelasannya. Sampai akhirnya Ce memelukku dan Ia pun memulai penjelasanya.
"Ja, kamu yang sabar ya. Andre tidak sepenuhnya salah. Ia terpaksa memenuhi keinginan ibunya untuk menikahi Intan. Mereka masih ada hubungan keluarga. Beberapa tahun yang lalu, sebelum Dia berhubungan denganmu, mereka sudah dijodohkan. Tapi Andre selalu menghindar dari Intan. Bahkan Ia memulai hubungan baru denganmu. Meskipun demikian, Dia memang benar-benar cinta sama kamu, bukan bermaksud sebagai pelarian. Tapi dua bulan yang lalu ibunya Intan meninggal, disaat akhir hayatnya, dia berpesan kalau Intan dan Andre tetap dijodohkan. Bahkan mereka berdua sempat menolak. Tapi Andre kasihan melihat Intan sejak ditinggal ibunya. Ia terus menemani Intan hingga Ia mulai menyadari kalau ada perasaan yang muncul diantara mereka. Akhirnya mereka mau menerima perjodohan tersebut. Andre sebenarnya mau memberitahumu, tapi kamu lebih dulu bertemu Intan"
Aku menghapus air mataku. Meski kutahu semua ini sangat menyakitkan, aku tetap mencoba tegar di depan Ce.
"Ja, biarkan mereka berjodoh, bukankah jodohmu juga sudah di depan mata he he he"
Ce mulai merayuku. Aku tersenyum mendengarnya. Mungkin ini cara Tuhan menjawab setiap sujudku. Ada yang pergi dan ada yang datang. Inilah hidup. Semua harus dijalani sesuai sekenarioNya.
Malam ini aku habiskan dengan Ce. Teman yang kuanggap sebagai saudara. Mulai malam ini, aku menghapus semua jejak tentang Andre. Mungkin juga do'a mama sudah waktunya dikabulkan.
***
Seminggu sudah berlalu. Waktu demi waktu kulalui seperti biasanya. Sendirian. Kadang-kadang Ce datang mampir ke rumah. Tapi Jangan tanya masalah Mas Jihad. Dia selalu memberikanku suport saat aku membutuhkannya. Katanya minggu ini Dia akan pulang. Cari jawaban pastinya he he he.
"Ja... Ada Ce yang datang"
Mama memanggilku sambil senyum riang. Tumben mama sampai segitunya. Rupanya ada udang di balik batu.
"Assalamu'alaikum, Ja"
"Wa'alaikumussalam... "
Aku berlari keluar kamar, sepertinya ada suara yang tidak asing lagi.
"Mas Jihad"
Ia tersenyum padaku.
"Aku datang untukmu ustadzah... "
Hah...!!! Ustadzah...!!!!
Aku dan Ce terbelalak mendengar panggilan itu, dan...
"Ha ha ha mas ini, tumben panggil aku ustadzah"
"Itu sebagai do'aku"
"Do'a apaan"
"Aku tetap berharap, kalau adik jadi ustadzahku dan jadi ustadzah anak-anak kita"
"Aamiin... Aku senang dengarnya. Tapi aku tinggal ya, gak enak jadi orang ketiga ha ha ha"
Aku masih terdiam melihat Ce yang tertawa sambil meninggalkan kami pergi.
"Gimana dik? Mau kan? "
"Mau apa.. "
Aku masih mengalihkan pembicaraan. Malu ah...
"Gak dengar do'anya Mas ya... "
Ia mulai meledekku. Aku tersenyum dan menganggukkan kepalaku.
"Alhamdulillah... Terus jawaban untukku apa.. "
Aku jadi salah tingkah di depan mas Jihad. Mungkin ini sudah waktunya menjemput kebahagiaanku.
"Ya.. Aku mau mas.. "
Aku menjawab dengan tersipu malu.
Tak bisa kulukiskan kebahagiaan yang terpancar di raut wajahnya mas Jihad. Ia tersenyum bahagia. Akupun bahagia.
***
Tiga bulan berlalu. Aku menjalani hubungan dengan Mas Jihad. Sampai pada akhir yang sudah ditentukan olehNya. Kami dipersatukan dalam ikatan suci. Kami bahagia. Tidak kalah bahagianya lagi mama dan Ce. Tak bisa kulukiskan raut wajah bahagia mereka. Saat kami selesai ijab qabul, aku bersalaman dengan Mas Jihad. Saat itulah pertama kalinya kami berpegangan tangan, ia mencium keningku. Duh... Malunya aku. Aku tersenyum melihat Mas Jihad, ia pun membalas senyumanku.
"Bahagiaku bahagiamu, bahagiamu bahagiaku" Kata Mas Jihad sambil tersenyum
"Bahagia kita jadinya.. " Aku membalas sambil tersenyum simpul
Semoga ini jadi awal yang indah. Aamiinn...
Tamat.
Komentar (0)