Detail Opini Guru

Opini / Guru / Detail Opini Guru

CERPEN : ' GADIS JEPUN '

Admin Rabu, 2 Februari 2022 16:23 WIB 0 Komentar

 

GADIS JEPUN

Oleh

Dedi Irawan ( Nama pena Dedy Syairnip)

Guru SMA Negeri 1 Terara

 Matahari bersiap tenggelam di ujung laut merah cakrawala menghiasi angkasa.  Burung layang-layang berterbangan mengapakan sayapnya mengisi langit-langit  desa, bahkan sampai kota. Terbang dengan formasi tarian mengundang burung yang lain. Percaya atau tidak, formasi terbang burung bisa menjadi inspirasi manusia mengejar sesuatu yang harus di capai dalam kehidupan.

        Malam sudah pongah!!

     Tokek- tokek, seiring malam pekat yang meyelimuti. Dinginnya udara malam menusuk lubang pori-pori dan tulang. Sunyi? bulan bergerak tak tentu rimba. Bintang- bintang bersembunyi di balik awan. Lampu neon sudut rumah tetangga bergerak pelan, dikipasi angin malam.

   Yana sik gadis Jepun usia-Mu sudah 26 tahun. Hampir empat tahun sudah tinggal di luar kota. Wajah bundar, setitik Tai lalat di bawah bibirmu sebelah kanan.

   Empat tahun, ya empat tahun Yana yang telah ku juluki sebagai Gadis Jepun meninggalkan desa kelahirannya. Gadis Jepun  mengakui, bahwa empat tahun bukanlah waktu yang singkat untuk membuat desa kelahirannya itu berbenah.

“Halo, Merpati Tunggal.”

  Sial, koq dia kenal namaku? Nama panggilan itu khusus untuk Yana sik Gadis Jepun. Belum 20 detik aku pun bertanya, kenapa dia menyebut nama panggilan yang bisa dikatakan sebuah rahasia.

“Han, dari mana tahu nama panggilan itu?” Tanya ku.

"Sekitar beberapa bulan, waktu di Yogyakarta. Aku bertemu dua gadis, dia sedang asik membaca buku di perpusatakaan kampus. Kebetulan, waktu itu aku ingin mencari buku psikologi sastra, karena ada tugas dari dosen mata kuliah sastra.  Tanpa berbicara panjang lebar ya. Dia menceritakan tentang dirimu."

“ Haa, dia menceritaka tentang diriku?”

“ Ya.”

“Han, masih ingat wajah orangnya?” Tanya ku, untuk menyakinkan apakah ia orangnya atau tidak.

“ Ya, aku masih ingat.  Wajahnya bundar, dia memiliki Tai lalat di bagaian kanan bawah bibirnya.” Jawab dengan suara datar.

    Aku terdiam, tak tahu apa yang harus ku katakan. kisah yang dua tahun tumbuh, kini sudah layu bahkan sebentar lagi gugur selama hampir empat tahun ini. Apa memang benar dia orangnya. Gadis yang memiliki Tai lalat kan banyak. Bukan dia saja.

“Katanya dia ingin pulang ke Lombok. Waktu itu,” ungkap Han, menoleh wajahnya Rawa.

“Dia ingin pulang?” Tanya ku

“Ya, siapa tahu dia sudah pulang.”

 “Selama ini, Rawa tidak pernah hubungi dia?”

“ Ya, “Tidak Tahu.”

Aku terdiam lagi, setelah mendengar pertanyaan itu!

      Aku teringat satu tahun yang lalu, aku terbengong-bengong menerima sepucuk surat dari temannya yang isinya cukup membuat dada sesak.“ Cari wanita lain!” Hanya sepatah frase. Dibilang kalimat juga tidak. Sosmednya juga dia blokir,gimana aku bisa hubungi. Dia menghilang tanpa sebab, Han.

“Sepucuk surat?” ungkap Han.

“Ya, sepucuk surat. Seperti aku tidak hidup di zaman modern.”

“Hmmmm…”

Dingin menyapa, membuat segumpal  tetesan darah  menjadi beku  di malam hari.

  Rindu kini menggeliat datang, setelah mendengar namanya lagi. Mengapa rindu ini jua menepi. Kandaskah? Terhempas kandaskah kabarku kepada nya. Ah tidak! Tak mungkin. Sebab hanya dialah yang bisa memaknai aku sebagai segumpal darah, segumpal daging yang masih di diami roh, dan tidak terlalu buruk di sebut manusia.

  Memang, rindu ini telah jauh mengembara. Bersama angin. Bersama camar yang melangkahi hari-hari dengan nyanyian kapaknya. Bersama daun-daun nangka bergemerisik menyapa. Mengantarkan kerinduan ku padamu Yana sik Gadis Jepun.

***

Itulah dunia. Tempat persinggahan. Cepatnya malam, bahkan hari pun cepatnya tiba. Akhinya!

   Tepuk tangan itu menggema di pagi hari. Hanya satu burung berjingkrak- jingkrak di atas pohon tua. Ranting-rantingnya habis kering, tinggal menunggu hari dia akan jatuh. Sungguh malang nasib mu.

  Kupandang gadis itu. Berjalan terseok di antara keramaian warga desa. Wajahnya dingin semburatkan kekakuan, seakan menyimpan selaksa beban yang tak terurai. Bilamana ku pandangi wajahnya  dan  mencoba menyelami dalam bibir di mata dinginya. Tapi gagal! Tidak menemukan apa-apa sepertinya kertas kosong. Tak ada sinar kebahagiaan dimata itu, seperti tak ada  kesedihan! Datar tanpa ekspresi.

“Aduh, itu kan Yana.” Ucap dalam hati.

Aku tersentak, segera merogoh saku dan membayar sebukus rokok yang sudah di tangan. Lalu, hentakan kaki ku mengikutinya dari belakang. Ingin memastikan apa benar dia atau tidak. Ternyata benar, apa yang dikatakan Han semalam. Dia sudah di Lombok.

“Yana…, Yana…” Aku panggil dengan suara datar. Takutnya nanti salah orang.

Dia menoleh, kearah sumber suara. Wajahnya tampak jelas terbengong-tebengong, ditengah keramian warga desa.

“ Rawa.” Ucapnya.

“Ya, aku Rawa.” jawab ku, tegas.

Yana sik Gadis Jepun. Wajahnya tampak jelas kaku, setelah mendengar jawaban itu.

“Setelah tinggal di luar kota, secapat itu berubah. Kamu menghilang tanpa sebab, apa kamu lupa dengan janji itu. trus, se-enaknya mengirim spucuk surat lewat temanmu. Sosmedmu juga kamu blokir.”

“Sepucuk surat?”

“Yaaaaa,” tegas sambil melirik, wajahnya Yana.

“Apa, karena bapak-Mu.  Kamu berubah secepat itu. Jangan-jangan, kamu merahih pendidikan di luar kota, itu sebagai alasan juga. Menghindar dari ku.”

“Cukup…, cukup…, Rawa!” teriaknya kecil.

“Ini awal pertemuan kita kembali, setelah hampir empat tahun aku menghilang. Mungkin aku tidak enak menjelaskannya disini. Kalau memang kamu membutuhkan penjelasan, kita ketemu lagi nanti sore, di tempat temu pisah kita dahulu.”

Rawa melirik wajahnya Yana, tanpak jelas sedikit merah.

“Okee, aku sudah lama memendam ini semua!” ucap ku.

“ Tidak hanya kamu. Aku juga seperti itu.”

***

Jam diding ruang tegah menujukan pukul empat lewat sembilan belas menit. Di luar hujan masih saja turun dengan derasnya. Angin yang menerobos masuk melalui lubang-lubang loster. Dingin menusuk kulit. Baju tipis di tubuhku tidak banyak membantu menahan dingin, sehingga agar lebih hangat  kepakai jaket tebal. Agak menolong, memang.

Akan tetapi, janji  ku bersama Yana itu lebih penting saat ini dari pada menunggu hujan reda. Tidak ada yang ganjil terlihat. Malah terasa suasa persis tidak berubah seperti dulu. Pohon Jepun sudah puluhan tahun masih langgeng. Padi para petani sebentar lagi menguning. Mereka tinggal menunggu hasil.

“Selamat sore, Rawa” Ucap Yana dari samping kanan pohon Jepun.

Rawa menoleh.

“Sore juga.” Jawab ku.

  Tidak lama. Dengan rasa penasaran terlalu tinggi, suasana penuh tanda tanya membuat ku tidak sabar. Sambil melirik kuperhatikan dia. Hampir empat tahun sudah menghilang tanpa sebab. Sekucur tubuhnya ada perubahan. Mulai dari warna kulitnya, sebelum keluar kota. Kulitnya hitam manis, sekarang putih kuning. Pipinya semakin tembam. Aku menyadari semuanya, hal itu bisa saja terjadi karena makan, tidur, dan kuliah. Hanya itu yang terjadi padanya.

“ Sekarang kita akan bedah semuanya.” ucapan ku tegas

Yana melirik wajahnya Rawa, setelah mendengar suara sedikit tegas.

Hampir empat tahun, bukan hal yang mudah. Untuk mejalani semua ini, hilang tanpa sebab. Sepucuk surat ku terima membuat dada sesak. Sekarang jawab pertanyaan ku.

Nomor satu. ‘apa kamu kenal foto orang ini.’

“Hmmm, ini pria yang aku temui diperpustakaan kampus.” Ucap dalam hati. Lanjut.

“Kenal, aku pernah ketemu di perpustakaan kampus?”

“ okee, kalau begitu.”

“Apa kamu bercerita tentang diriku?”

“Ya.”

“Berarti Han benar. Dia orangnya!”

Nomor dua. ‘ kenapa Sosmedmu kamu blokir begitu saja?”

“ Aku tidak pernah blokir Rawa!”

“Trus, kenapa tidak bisa dihubungi?”

“ Sebelum aku meninggalkan tanah kelahiran ku. bapak mengeluarkan perjanjian tegas. Itu pun secara terdesak aku harus menjawabnya. Aku teringat, tepat malam jum’at. Hp yang menjadi milik ku ditukar. Whatsap ku di sadap langsung oleh bapak. Aku tidak tahu, bagaimana cara menghubungi mu. instagram  yang lama tidak digunakan lagi. bapak yang membuat intragram baru. Lebih parahnya lagi. sepupu ku mata-matanya bapak. Aku sudah tidak bisa lagi menghubungi mu. Semuanya bagaikan penjara lepas.

“Kamu menghilang begitu saja, karena tertekan dengan ulah bapak.” Tanya ku

“Ya.”

“Hmmm.” Rawa mengaguk-ngguk kepala

Nomor tiga. Kenapa kamu mengirim sepucuk surat, setelah beberapa bulan kamu pergi?”

“Aku tidak pernah menulis surat!” Jawab Yana polos.

“Ini, masih aku simpan. Selama kamu pergi.”

Yana menoleh ke arah kertas. Dia mengenal tulisan itu. wajahnya sedikit pucat, setelah melihat sepatah kata tergores di kertas putih. “ Cari wanita lain.” isi kertas.

“Bukan tulisan ku itu!” ucap Yana

“Trus, siapa yang menulis?”

“Bapak.”

“ Hmmm.” Rawa mengangguk kepala,setelah mendengar cerita Yana sesungguhnya.

 

***

Hari kamis pagi, pukul lima seperempat, tepat setelah dua hari ketemu sama Yana sik Gadis Jepun setelah hampir empat tahun sudah tidak ada kabar sama sekali. Aku mampir di rumah Om Dahrum. Beberapa hari yang lalu, dia sudah berpesan bahwa ada temanya yang ingin dibutkan PTK selain dia. Akhirnya, setelah aku masuk, ternyata bapaknya Yana ada di sana.

Aku tak habis pikir, kalau Om Dahrum berteman sama bapaknya Yana. Ingin ku masuk,  sudak ada orang yang tidak suka sama ku. begitu sebaliknya,tidak masuk.  Sudah aku berada di depan rumahnya. “ Rawa.” panggil Om Dahrum. Akhirnya aku masuk, wajah yang tenang, cerah dan sopan. Setelah aku duduk, dekat Om Dahrum. Tanpa panjang lebar. Om Dahrum mengeluarkan suara lagi.

“Ini keponakan ku, yang aku ceritakan beberapa hari yang lalu.” ucap Om Dahrum

“Hmmm.” Ucapa pak Dahlan seiring menatap wajahnya Rawa. Orang yang dia tidak sukai.

“ Om, jadi dibuatkan PTK?” Tanya ku.

“Ya, jadi anak ku. tinggal satu minggu kita kumpulkan. Ini teman Om yang ingin dibuatkan PTK itu. Yang sudah aku ceritakan beberapa hari yang lalu.”

 “Ya,” melirik sedikit wajahnya bapaknya Yana.

“ Kalau begitu, aku tidak lama-lama dulu. Soalnya ada acara teman yang aku hadiri malam ini.”

“ Nanti dulu, mau dibuatkan kopi sama ibunya itu.”

“ Terima kasih.”

Wassalamualaikum.”

“Waalaikumusalam warahmatullahi wabarakatuh.” Jawab Om Dahrum.

  Hari Jum’at malam, sepanjang malam jum’at. Bapaknya Yana duduk di kursi teras. Secangkir kopi sudah disuguhkan oleh sang istri, baru dua kali dia minum.

“ Ternyata selama ini aku salah menilainya. Benar-benar salah.”

 “ Dia keponakan ku pak Dahlan, dia anak yang biasa. Sekarang sedang proses kuliah lagi. Dia ingin mengejar cita-citanya, ingin mengajar anak kampus juga” Pak Dahlan mengingat cerita pak Dahrum tentang Rawa.

“ Besok aku mencarinya, dan mintak maaf. Astagfirullah, sudah salah menilai orang.” ucap dalam hati.”

***

 Trik sinar matahari itu membuat wajah pak Dahlan kuning lansat itu menjadi pucat. Ia berdiri dekat lesung sambil memandang wajahnya Rawa. penilaianya terhadap Rawa, membuat dia bersalah besar.

Akhirnya, tanpa menunggu hari panjang. Dia menemui Rawa di tempat kerja, setelah mendapatkan informasi tempat Rawa bekerja dari pak Dahrum.

“Rawa, aku kesini ingin mintak maaf.” Suara datar, lemah.

“ Perjalan menjalin kasih, bersama adik-Mu. Tak seindah yang kamu inginkan, karena itu ulah ku.”

Pak Dahlan mengeluarkan sesungguhnya, begitu polos. Setelah dia mengetahui siapa Rawa sebenarnya. Selama ini dia mencari  karakter yang akan menjadi suami anaknya ada di Rawa. Tetapi, karena ambisi terlalu tinggi menilai, jadi terpelest menuju kesalahan.

“ Aku tahu, Yana sudah menceritakan semuanya.” ucap, lemah.

“Berarti dia sudah ketemu sama Yana.” Ucap dalam hati, seiring melirik wajahnya Rawa.

“ Memang, sebongkah tubuh ini terlalu banyak menilai aku  itu kotor di mata orang-orang. Aku menyadari sedalam-dalam, karena aku sudah terlalu banyak bersalah. Aku bersalah, mulai keluar dari rahim ibu ku. Aku sudah bersalah! Karena aku menyakiti sekucur tubuhnya.

 Pak Dahlan melirik wajahnya Rawa, kedua kalinya.

“ Setelah aku keluar dari rahimnya. Aku seperti orang Belanda, keinginan ku selalu ingin dituruti. Kalau tidak dituruti  aku akan berontak. Pantas orang menilai aku itu kotor. Karena aku terlalu banyak bersalah.”

“Sudah, sekarang langit dan bumi menjadi saksi atas supah ku. bahwa Yana akan menjadi milik-Mu, anak ku.” ucap pak Dahlan.

Rawa, melirik wajah pak Dahlan, setelah mendengar sumpah yang tak pernah dia sangka-sangka akan keluar. Dia pun melajutkan, untuk lebih menyakinkan.

“ Hampir empat tahun jiwa ini rapuh. Lebih-lebih setelah menerima sepucuk surat membuat dadak sesak. Asal bapak tahu sebenarnya apa yang diinginkan oleh jiwa ku.”

“Aku teringat, pesan almarhum kake ku. sampai kedua orang tua ku juga. Dia ingat pesan itu, sampai sekarang.  Pesanya. “ Rawa, ini pesan kakek. Besok kalau kamu menikah, cari wanita yang mernama Yana.” Akhirnya setelah besar, sampai sekarang ini! pesan  almarhum kakek dan orang tua ku. tetap aku ingat.  

Pak Dahlan, hanya diam mendengar cerita Rawa yang sesungguhnya.

“Filosopi apa yang ada di balik nama itu. akan menjadi pertanyaan besar, untuk mendapatkan jawabanya. Akhirnya, aku temukan, ternyata almarhum dan kedua orang tua ku mencari melalui Uriga yang berjudul “ perhitungan nama” isinya diambil dalam alqur’an. Di dalam alqur’an ada huruf mati dan huruf hidup.”

Aku baca, menggali makna apa yang tersembunyi.

Ra = 10   Sin= 10    Lam= 4    Alip = 7  Na= 2.  Ada pun Keteranganya:  huruf yang tidak disebut otomatis huruf mati. Aku pun semakin menggali, mencari benang merahnya. Meskipun ini sebuah sayareat. Karena kita ada berdasarkan syareat.  Ucap Rawa, seiring melirik wajahnya pak Dahlan, kali ini dia mengusap wajah basahnya.

 Di balik kertas yang sudah aku baca. Ada sebuah keterangan yang berisi penjumlahan, pengurangan dan hasilnya, yang dimana?

  Sisa 1 jatuh seperti air sumur. Sisa 4 jatuh seperti bulan purnama. Sisa 3 jatuh mati suka. Sisa 5 jatuh  seperti rahayu. Terakhir sisa 2 jatuh seperti padi terbakar api.

Keterangan: jumlah dua nama dikurangi 7 akan menemukan hasilnya.

Akhirnya, tanpa mengenal larut malam, ingin menemukan benang meranya. Aku tulis nama adik ku bernama Yana dan Rawa.

“ Yana = Y berarti huruf mati. Sedangkan A huruf hidup= 7. N huruf hidup = 2. Tujuh tambah dua sama dengan 9.

Keterangan: Berarti ' Yana' jumlah huruf hidupnya sama dengan sembilan.

Selanjutnya.

“ Rawa = R berarti huruf hidup = 10. A huruf hidup = 7 .  W huruf mati.  jadi, sepuluh tambah tujuh sama dengan 17. Aku gali lagi, untuk menemukan hasil terakhinya.  Jumlah huruf hidupnya Rawa sama dengan 17 ditanbah huruf hidupnya Yana sama dengan  sembilan. 17+ 9 =26. Selanjutnya aku ikuti rumus yang di atas. 26 – 7= 19. Hasil pertama aku temukan. Belum ada di dalam keterangan Uriga tersebut. lagi aku jumlahkan, 19 – 7= 12. Masih  belum aku temukan. hasilnya, sesuai dengan keterang Uriga. Lagi aku kurangi, 12 – 7= 5. Akhirnya menemukan benang merahnya. Yana dan Rawa kalau satu atap akan kehidupanya seperti rahayu sesuai keterangan di Uriga tersebut. 

“ Kehidupan Rahayu itu seperti bagaiman?” Tanya pak Dahlan. baru kali dia mengeluarkan suara, setelah hampir setengah jam berdiam bisu.

“ Dalam keterangan Uriga itu, yang sudah aku baca semuanya. Rahayu itu memiliki kehidupan sepasang suami istri yang selalu setia. Artinya, ada atau tiada uang, bahkan apa yang dia ingikan, kemudian belum terpenuhi maka akan menghadapinya dengan sabar. Tidak ada bara api di dalam atap rumah. Tapi aku ingat, itu sebuah syareat. Hanya Allah yang tahu segalanya kehidupan hamba-hambanya serta semua isi langit dan bumi.

"Setiap kesempatan yang kita jalani bersama terasa indah dan berharga, bisa dikatakan seperti serangkai permata di kelingking jari yang sangat berharga. Itulah sebabnya aku menginginkanya. Menjadi pendamping hidup ku.” ucap lagi Rawa.

 "Aku meraih pendidikan setinggi-tingginya. demi siapa, kalau bukan demi dia juga suatu saat nanti.!

“Sudah aku tidak ingin membahas terlalu panjang lebar. Sekarang aku sudah tahu tentang diri-Mu anak ku. pintu terbuka untuk mu. Adik mu ada dirumah sekarang. tinggal beberapa bulan dia keluar kota lagi. Jadi, kapan kamu kerumah?”

Rawa melirik wajahnya pak Dahlan.

“Pokoknya kamu datang nanti sore. Temui adik-Mu!”

***

 “Tak pernah terbayangkan, bahkan tak pernah terlintas di benakku bahwa aku akan seperti ini lagi bersama-Mu sik Gadis Jepun.” Ucap Rawa.

“Sebuah ujian Merpati Tungal.” Jawab Yana, senyum tipis melirik wajahnya Rawa.

Pak Dahlan menoleh wajah mereka berdua. Selama ini, dia yang punya ulah atas kebersamaan mereka, hampir empat tahun sekeping hati mereka tergores luka dalam.

“Rawa, boleh bapak bertanya?” ucap pak Dahlan,

“Silahkan pangeran,” jawab Rawa,

“Tadi, aku dengar kamu pagil adik-Mu Gadis Jepun. Apa maksudnya, kenapa memanggilnya dengan nama itu?”

Yana menatap datar wajah bapknya, lanjut dia melirik wajahnya Rawa.

“O, ya. Kita punya julukan nama. Aku memanggil adik ku Gadis Jepun, karena setiap ketemu selalu di bahwa pohon Jepun ini. begitu juga dengan adik ku Yana. Dia memangil ku Merpati Tunggal , karena aku mencarinya.

“Aduh ada-ada saja anak muda.” Ucap dalam hati, senyum tipis. Baru kali ini dia senyum di depan Rawa dan Yana.

“ Kau ingat janji yang dulu?” ucap Rawa.

“Ya, aku ingat.” Jawab Yana

“ Apa.?”

“ kita akan selesaikan tugas terakhir dulu. Baru kita melangkah kearah yang itu.”

“Jadi, kalau kamu pergi lagi. Aku sedih lagi dong” kata Rawa

“Hmmm”

“ Ya sudah, selesaikan tugas terakhirmu dulu. Aku juga akan selesaikan tugas terakhir ku.”

Tidak semua yang dibakar api akan hangus menjadi abu,

Batu bata sengaja dibakar supaya semakin keras

Begitu juga!

Dengan kehidupan kita, tidak semua yang menimpa kita akan menghancurkan.

Kadang sebenarnya kita diuji jadi lebih kuat.

Gadis Jepun

***


Bagikan ke:

Apa Reaksi Anda?

0


Komentar (0)

Tambah Komentar

Agenda Terbaru
Prestasi Terbaru